Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Mural dan Kebebasan Berekspresi

Oleh : Dinal Gusti Direktur LSP Indonesia

Di ingatan kolektif, peristiwa penghapusan mural bernada sinis terhadap pemerintah oleh petugas kepolisian dan satpol PP di beberapa daerah di Indonesia masih membekas. Di Tangerang, Mural tentang Wabah Kelaparan dihapus oleh petugas. Di Pasuruan, mural bergambar dua kartun dengan tulisan Dipaksa sehat di Negara yang sakit pun turut menjadi sasaran penghapusan Petugas. Dan yang paling ekstrim, pembuat mural bergambar wajah Presiden Jokowi dengan mata tertutup tulisan 404: Not Found diburu Polisi, karena dianggap menghina simbol negara.

Gegernya Republik ini bukan karena isi dari pesan yang bersemayam dalam sejumlah Mural tersebut, melainkan karena tindakan petugas lapangan yang sangat reaktif dan berlebihan terhadap buah ekspresi masyarakat [Seniman]. Sejumlah pengamat, aktivis dan masyarakat begitu kecewa dengan peristiwa tersebut. Polri dalam hal ini, dianggap anti kritik dan tidak peka dengan ekspresi maupun perasaan publik. Namun Kapolri Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa peristiwa penghapusan mural tersebut bukanlah kemauannya, apalagi kemauan Presiden Joko Widodo.

Kapolri, sebagaimana Presiden Joko Widodo, sangat menghargai Kebebasan Sipil dalam menyampaikan aspirasi. Menangkap pesan dari Presiden Joko Widodo bulan lalu, kritikan atau satir melaui seni Mural itu sejatinya tidak harus direspon berlebihan. Hal itu menurutnya sangat wajar di negara Demokrasi. Dirinya mengaku pernah mendapat kritikan yang bahkan lebih parah dari itu. Pasca statemen Presiden, Kapolri Listyo Sigit Prabowo akhirnya mengeluarkan Surat Telegram untuk menjawab persoalan yang terjadi di lapangan. Dalam surat tersebut Kapolri tegaskan sikapnya, dan meminta seluruh personel lapangan untuk tegak lurus dengan titahnya. Dan hasilnya, tak ada lagi tindakan reaktif petugas terhadap seni jalanan [Mural].

Kapolri Listyo Sigit Prabowo tak hanya mengeluarkan Surat Telegram. Dirinya dengan terang-terangan meminta masyarakat luas, khususnya para seniman Mural se Indonesia, untuk terlibat dalam Festival Mural di Mabes Polri. Awalnya banyak pengamat menilai tindakan Kapolri mengadakan Festival Mural itu hanya sebagai gimmick. Namun ternyata Kapolri justru menyampaikan pesan yang sangat radikal kepada peserta Festival Mural: Silakan kritik Polri. Kritik yang paling pedas, akan menjadi sahabat saya [Kapolri].

Mari kita mundur ke belakang, dan kemudian menatap tajam fenomena mural di masa kolonial. Di masa kolonial, mural adalah salah satu alat publik untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, sekaligus sebagai alat untuk melipatgandakan Perlawanan terhadap kolonial. Grafiti, mural dan oret-oretan dinding pada masa itu merupakan bagian dari penanda pergerakan zaman. Karya-karya seniman jalanan itu bisa dikatakan sebagai catatan atas harapan dan perubahan.

Di periode awal kemerdekaan, dinding-dinding kota menjadi wadah untuk menyampaikan pesan dan propaganda semangat kemerdekaan. Bahkan Ir. Soekarno, Sang Proklamator, menyinggungnya dalam pidato HUT RI, 17 Agustus 1956. “Di tembok-tembok rumah, di tembok-tembok jembatan, orang tuliskan isi hatinya dengan singkat, tetapi tegas : Indonesian never again the lifeblood of any nation [Indonesia tidak lagi akan jadi darah hidupnya bangsa asing]. We fight for freedom, we have only to win [Kita berjuang untuk kemerdekaan, kita pasti menang], ucap Soekarno dengan nada lantang.

Tak hanya di masa kolonial dan setelahnya [Orde Lama], di masa Orde Baru pun demikian. Mural adalah salah satu instrumen perlawanan publik atas kesemena-menaan dan penindasan. Hal itu tetap eksis di era Pasca reformasi. Mural-mural tetap eksis dan bertebaran di dinding-dinding kota. Dari kota kecil hingga Jakarta, Mural-mural ikonik berwajah Munir, Marsinah hingga Wijhi Thukul pun berdampingan dan kadang tumpang tindih dengan reklame-reklame politik, industri rokok hingga iklan sedot WC.

Festival Mural yang diselenggarakan Polri pada dasarnya adalah upaya mengakomodir seni jalanan [Mural]. Namun terlalu sempit dan gegabah bila kita berfikir bahwa kegiatan itu hanya sekedar seremonial atau untuk menutup-nutupi wajah Polri yang sempat tercoreng oleh insiden penghapusan mural. Dalam pengamatan penulis, Kapolri Jenderal listyo Sigit Prabowo justru mencoba “memanfaatkan” tangan masyarakat [seniman] untuk melihat sejauhmana kinerja Polri di lapangan.

Kapolri, melalui Festival Mural ini memberikan ruang bebas kepada masyarakat untuk berkata jujur terhadap Polri secara institusi. Sebagaimana Janjinya yang tertuang dalam Jargon Presisi [Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi berkeadilan], Kapolri dengan sangat prediktif mengukur langkah-langkah cerdas untuk melakukan pembenahan di internal Polri itu sendiri. Selain prediktif, Kapolri pun responsif dalam menangkap sejumlah isu yang berkaitan dengan institusinya. Kapolri sangat berani membuka saluran-saluran kritik yang lama tersumbat. Dan itu semua demi menegakan [kembali] Citra Polri yang transparan dan berkeadilan.

Demokrasi bagaimanapun adalah Rumah Besar bagi segenap warga negara tanpa melihat latar belakangnya. Semua di hadapan Demokrasi adalah sama dan setara. Sedangkan Kritik adalah keniscayaan dalam Demokrasi itu sendiri. Tanpa kritik, Demokrasi akan mengalami stagnasi dan degradasi. Dan apa yang telah dilakukan Kapolri Listyo Sigit Prabowo melalui Festival Mural tersebut, adalah jawaban konkret keberpihakan Kapolri terhadap Demokrasi. Sebagai penutup, penulis ingin mengutip dua pernyataan Kapolri : Pertama, “Anggota Polri Jangan Anti Kritik.” Dan yang kedua, “Kritik paling pedas, akan menjadi sahabat saya [Kapolri].”