images (17)

Oleh : Dinal Gusti dan Denni Wahyudi, Pegiat Lentera Studi Pemuda Indonesia [LSPI]

Kasus dugaan Rudakpaksa [Pemerkosaan] yang dialami oleh tiga anak di bawah umur di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan menjadi trending topik di Twitter dalam seminggu belakangan ini. Kasus rudapaksa yang diduga dilakukan oleh ayah kandung para korban ini dituding memiliki sejumlah kejanggalan prosedural [malprosedur]. Polri—sebagai aparatur penegak hukum [APH]—menjadi “sasaran empuk” netizen karena dinilai tidak profesional dalam memproses kasus hukum yang dilaporkan oleh ibu korban sejak tahun 2019 lalu.

Berdasarkan keterangan yang dipungut dari berbagai sumber di media massa, kasus tersebut “dihentikan” oleh aparat kepolisian setempat [Polres Luwu Timur] karena tidak cukup bukti. Tak puas dengan keterangan Polres, Ibu Korban kembali melaporkan kasus tersebut ke Mapolda Sulawesi Selatan. Dan hasilnya pun tetap sama : Tidak cukup bukti. Kini kasus tersebut dipantau langsung oleh sejumlah lembaga otoritatif level nasional seperti Komisi III DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak [P3A], Ombudsman dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia [KPAI].

Respon Polri—Menanggapi kasus yang dianggap “janggal” tersebut, Bareskrim Polri akhirnya menurunkan tim khusus yakni Biro Pengawas Penyidik [Rowassidik] ke Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh mengenai hasil penyelidikan terhadap kasus yang dihentikan tersebut. Kedatangan tim khusus Bareskrim polri tersebut ditujukan untuk mengecek kebenaran dari klarifikasi yang disampaikan oleh Polda Sulsel mengenai penyelidikan tersebut. Dan tim ini sedang menjalankan tugasnya, dan sesegera mungkin memberikan keterangan valid mengenai kasus yang viral tersebut.

Masyarakat Post Truth, Efek Lemming, dan Semangat Vigilantisme—Tulisan ini tidak bermaksud untuk “membiaskan” kasus rudapaksa yang diduga menimpa tiga anak di bawah umur di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Dalam kasus ini, bila terbukti adanya, kami sungguh menaruh empati mendalam bagi mereka yang menjadi korban. Bagaimanapun kita sepakat bahwa kekerasan seksual yang menimpa anak di bawah umur, adalah kejahatan yang sulit untuk diterima oleh ratusan juta warga republik ini.

Tulisan ini ditujukan untuk merespon viralnya tagar #PercumaLaporPolisi yang digaungkan dan disirkulasikan oleh Netizen di Twitter dalam sepekan ini. Fenomena viralnya tagar #PercumaLaporPolisi ini membuat kami prihatin sekaligus merangsang refleksi kami untuk mengambil jarak [distansi] dengan fenomena tersebut. Bagi kami respon berlebihan [emosional] netizen atas kinerja polri yang dituding tidak memuaskan atau tidak becus ini adalah konsekuensi buruk yang dihasilkan sebuah era yang disebut Post Truth.

Istilah Post Truth Era [Era Pasca Kebenaran] memang sudah memiliki pola di zaman Yunani Kuno dulu, di mana masyarakat sangat menggantungkan kepercayaannya pada mitos-mitos. Para filsuf pada masa itu memiliki peranan vital sebagai corong pemikiran publik. Mereka menentukan hitam dan putihnya hidup masyarakat. Kelincahan Retorika yang dikuasai para filsuf pada saat itu jauh lebih dipercaya dibandingkan rumus-rumus baku Logika yang menata pikiran dan bahasa manusia. Walhasil kebohongan, prasangka, emosi, sentimen dan kepercayaan menjadi sesuatu yang determinan dalam menentukan diskursus publik pada masa itu.

Namun di abad 21 ini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, gejala post truth ini kembali hadir dalam rupanya yang lebih “menyeramkan”. Semenjak booming-nya Media Sosial [Medsos] seperti facebook, twitter, instagram dan lainnya, spirit Post Truth kembali melahirkan taring yang lebih tajam dari sebelumnya. Di era Post Truth ini, Media sosial secara faktual telah memberikan ruang untuk memproduksi dan melipatgandakan kebohongan, emosi, sentimen, fitnah dan hoax. Dan beberapa gejala-gejala ini kami bisa pastikan menjadi pendorong jari-jari masyarakat [netizen] untuk turut serta terlibat melipatgandakan Tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial Twitter.

Bagi kami Viralnya tagar tersebut memberikan efek lemming [ikut-ikutan] yang luar biasa bagi masyarakat. Dan tentunya hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan mental [psikologis] mereka ketika mendunia di dalam medsos. Pada kasus Dugaan rudapaksa yang kadung viral ini, masyarakat “dikondisikan” oleh suatu wacana dominan [Doxa] untuk tidak melapor kepada Polisi. Pada posisi ini, Polri sebagai aparatur penegak hukum dibuat seolah-olah tidak berguna bagi masyarakat. Padahal perannya sangat vital dalam urusan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat [Kamtibmas], khususnya di era pandemi seperti ini.

Pada posisi ini Kita harus jujur dan objektif dalam melihat fakta, di mana Pandemi ini secara global telah memicu lonjakan kasus kriminalitas. Namun berkat hadirnya Polri, tingkat kriminalitas di Indonesia mampu ditekan ke level wajarnya, sekalipun disertai dengan catatan kritis dalam beberapa hal. Dan Kami sepenuhnya yakin Polri mau menerima catatan tersebut sebagai masukan yang berguna untuk meningkatkan profesionalitas Polri.

Selain soal efek lemming yang menciderai objektivitas, kami pun mencium aroma Vigilantisme atau praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh sebagian masyarakat [Netizen] yang dengan sengaja men-drive tagar tersebut untuk menciptakan ketidakpercayaan [distrust] pada Institusi Polri. Bagi kami, pada posisi ini Polri secara nasional sengaja didisain sebagai kambing hitam [tumbal] oleh oknum-oknum yang sentimen pada Polri. Padahal di era Kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sejumlah terobosan dan inovasi untuk mewujudkan Polri yang prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan [Presisi] telah mewujud dalam pelbagai aspek layanan. Dalam konteks ini, kami tidak akan membahas hal-hal [capaian] tersebut, tetapi kami hanya ingin mewartakan kepada masyarakat bahwa Polri sebagai institusi Negara sangatlah dibutuhkan, terlebih dalam situasi Pandemi saat ini.

Sebelum kami akhiri tulisan ini, kami ingin mengajak masyarakat untuk lebih adil dan bijak dalam menyikapi Kasus dugaan rudapaksa yang terjadi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Polri saat ini sedang menangani kasus tersebut. Berilah mereka ruang untuk bekerja. Kita harus percaya bahwa segala bentuk kritikan maupun rekomendasi yang dikeluarkan sejumlah lembaga pastinya menjadi referensi berharga bagi Polri untuk mengeskalasi kinerjanya. Dan Kita sebagai masyarakat sebaiknya menunggu hasil investigasi, dan bukan turut meluapkan emosi dan sentimen kebencian ke dalam tagar #PercumaLaporPolisi.

“Tak ada gading di dunia ini yang tak retak. Dan Tak ada pula manusia yang sempurna. Begitu juga dengan Polisi. Mereka juga manusia yang sama seperti kita. Bisa terluka dan juga tertawa.” #StopProvokasi