Kampus Plat Merah dan Runtuhnya Kebebasan Mahasiswa, Muhammad Aqsa Bs Presiden Mahasiswa UNM
Hari-hari ini serasa begitu sulit kita lalui, termasuk mahasiswa, di saat orang tuanya berjuang mati-matian bertahan dari gempuran pandemik covid 19, malah ada pula sekelompok pejabat yang mengaku terdidik justru melakukan tindakan-tindakan yang saya pikir tidak demokratis dan humanis. Bukannya memberikan bantuan dengan keringanan biaya kuliah, malah direpresi. Dasar bebal.
Bahkan mahasiswa yang bersuara dan memperjuangkan hak-haknya malah dicap ‘pembangkang’, ‘tidak beretika’, ‘tidak bermoral’ dan bahkan diancam, diteror dan ditendensi dengan macam-macam bentuk. Seakan berpendapat dan bersuara kritis adalah dosa’ atau ‘kriminal’. Sungguh ironi membayangkannya. Seakan-akan pasal 28 UUD 1945, UU 39/1999 dan UU 8/1998 hanya sekadar pajangan dan hiasan dinding rumah indonesia semata.
Kampus yang semestinya menjadi kawah candradimuka pergulatan ide-ide keadilan, ide kesejahteraan, ide kebebasan malah seperti penjara. Rasanya kita seperti hidup di masa orde baru kembali. Dimana kebebasan dan kritisme adalah ‘barang mewah’. Sedikit saja melawan arus kuasa, maka siap-siap dibredel, ditangkap, diteror, dibuang, dihilangkan bahkan dibunuh.
Ini bukan spekulasi. Kenyataannya memang demikian. Lihatlah UNM, kampus pendidikan tapi miskin demokrasi. Padahal pendidikan dan demokrasi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Makin terdidik, mestinya makin demokratis. Malah yang terjadi, saat ini sepertinya, segalanya diukur dari rupiah dan kepatuhan. Makin banyak rupiah anda dan makin patuh, maka cap berprestasi layak anda dapatkan. Sekali lagi, sulit membayangkannya, tapi itulah yang terjadi. Ironi memang.
Sebagai bukti, baru-baru ini BEM UNM bersama kawan-kawan LK Fakultas yang tergabung di gerakan BEM UNM melakukan gugatan ke birokrasi UNM. Gugatan itu cukup beralasan, bukan hanya didasari oleh dorongan hati nurani, tapi juga dilakukan dengan basis akademis.berdasarkan riset terdapat sekitar 17 % dari orang tua Mahasiswa yang pendapatannya tidak menurun selama pandemi ini, sementara sekitar 83 % pendapatan orang tua menurun secara signifikan. Jika melihat dari segi pekerjaan orang tua mahasiswa di UNM memang mayoritas atau rerata sekitar 26% merupakan petani, 21% pedagang / wiraswasta, dan sekitar 8 % pekerja kantoran dan abdi negara.
Tentu UNM punya data yang lebih lengkap dari kami. Tapi setidaknya mari terbuka untuk saling uji data. Selayaknya intitusi akademik; pikiran mestinya dilawan dengan pikiran, data dilawankan dengan data, bukan data dilawankan dengan jabatan, atau pikiran dilawankan dengan intervensi. Sungguh kekanak-kanakan.
Saya pikir dengan keterbukaan itu, kampus lebih tampak sebagai institusi akademik, bukan arena politik. Juga itu lebih menunjukkan kedewasaan berdemokrasi dan berdialektika para mahasiswa dan mahaguru, yang keduanya adalah sama terpelajarnya sebagai sebuah identitas kelas sosial. Iklim yang semacam inilah yang menurut saya penting untuk dirawat, ditumbuhkan dan dilipatgandakan.
Hasil dari uji data itulah yang pada gilirannya nanti digunakan untuk mengevaluasi UKT mahasiswa. Misal, saat ini, karena pandemik, pembelajaran dionlinekan semuanya. Tentu perubahan ini, mempengaruhi (1) kemampuan ekonomi mahasiswa, dan (2) menurunnya ongkos operasional kampus. Dua alasan itu mestinya cukup menjadi dasar untuk dilakukan penyesuai UKT mahasiswa secara menyeluruh.
Bahkan sekadar meminta transparansipun juga tidak direspon secara adil dan bijak, malah responnya terkesan ‘arogan’. Padahal UU 12/2012 dan UU 14/2008 telah mengamanatkan bahwa kampus (apalagi berstatus BLU dan BH) harus diselenggarakan dengan prinsip transparan, akuntabel dan berkeadilan. Misal, dalam UU 14/2008 disebutkan “Setiap badan publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses informasi publik yang berkaitan dengan Badan Publik untuk masyarakat luas” masyarakat luas, juga termasuk mahasiswa UNM.
Yang lebih menjijikkan mengerikan lagi, mahasiswa yang memperjuangkan hak-hak demokratisnya sebagai mahasiswa, malah mendapat ancaman bahkan kekerasan, baik fisik, psikis dan akademik. Ada yang diancam dengan pengunduran diri dosen penasehat akademik, diancam skorsing, pencabutan beasiswa dan macam-macam. Yah, memang barangkali itulah resiko perjuangan, suka tidak suka harus dihadapi. Sebab membiarkannya hanya akan memperpanjang barisan represi dan intervensi. Percaya saja pola represi itu akan terus dipakai untuk membungkam suara-suara kritis.
Menurut saya, besar atau kecilnya represi itu, tetap saja mesti direspon dan dihentikan. Ini menyangkut soal prinsipil, tidak boleh ada represi dan kekerasan terhadap kebebasan berekspresi di kampus. Kampus adalah tempat paling merdeka di semesta raya. Jadi semestinya kritik dan pikiran-pikiran berbeda diapresiasi, bukan dibunuh. Birokrasi seperti mengidap penyakit amnesia, tiba-tiba atau jangan-jangan pura-pura lupa UUD 1945 dan perundang-undangan HAM.
Saya teringat ucapan “Soe Hok Gie” tokoh yang sering dibicarakan mahasiswa karenan perjuagannya melawan ketidakadilan, ia berkata “kita seolah-olah merayakan demokrasi, namun memotong lidah orang-orang yang meyampaikan pendapat yang merugikan kekuasaan”. Kegelisahan Gie ini sepertinya masih cukup relevan sampai saat ini.
Dan barangkali itulah yang terjadi di UNM , menghalalkan segala cara untuk menghentikan mahasiswa memperjuangkan hak-haknya. Sangat tragis dan sangat disayangkan sekali. Sekelas kampus UNM, terkhusus Fakultas Ilmu Keolahragaan pun mengidap penyakit yang seberbahaya itu. Seolah-olah perundang-undangan HAM tidak berlaku disana. Misal, di berikannya surat (semacam surat pernyataan) untuk memaksa mahasiswa tidak lagi berdemonstrasi, dan bila tidak mengindahkan ketentuan itu, maka penasehat akademiknya (selanjutnya disebut PA) akan mengundurkan diri serta teror kepada orang tua mahasiswa , sungguh memilukan. Kenyataan ini seolah-olah mengafirmasi bahwa demonstrasi itu tindakan amoral atau kriminal. Memangnya sejak kapan, demonstrasi itu dianggap kejahatan ?, Ini akibatnya kalau defisit membaca dan mendengarkan.
Mundurnya PA ini boleh dibilang kekerasan akademik, sebab disana hak-hak mahasiswa tidak terlayani, misal untuk mendapatkan pelayanan akademik. Bila itu terjadi maka sebetulnya itu bisa dikategori pelanggaran pelayanan publik. Dan itu bisa disengketakan di omboudsman.
Bagi beberapa orang barangkali ini hal remeh temeh, tapi tidak dengan saya. Bagi saya ini soal mendasar, soal prinsipil. Hal seperti ini harus dilawan, harus dihentikan, kenapa? Karena kampus yang mengekang kebebasan berekspresi, sama halnya memberangus komunitas ilmiah, membunuh kebebasan akademik, mimbar berekspresi dan otonomi keilmuan yang itu adalah ruh dari kampus.
Sepertinya kampus tidak lagi menjadi laboratorium ilmiah bagi mahasiswa tapi berubah menjadi penjara yang memenjarakan sikap kritis mahasiswa. Kita tentu masih percaya bahwa generasi muda adalah suluh perubahan, suluh peradaban. Generasi muda adalah kelas sosial yang menolak bungkam pada penindasan. Anak muda adalah generasi yang selalu menolak tunduk pada kelaliman.
Semoga tulisan ini dapat mengajak kita semua berpikir, kita semua sadar bahwa kita manusia hanya dapat disebut manusia bila telah memanusiakan manusia. Kita berharap pula kampus masih menjadi mata air kehidupan, bukan malah menjadi menara gading.
Kawan-kawan mahasiswa dan kaum muda indonesia, bersatulah ! Rebut hakmu yang dirampas. Mari kita terus menolak tunduk pada segala menindas, menolak memenjarakan ucapan kita dan menolak menjadi korban keputusan-keputusan sepihak”.
Sepertinya Widji Thukul seakan berteriak di kepalaku “hanya ada satu kata ‘LAWAN’ !”.
Sebagai benturan-benturan imajiner di kepalaka untuk melawan segala ketidakadilan!
Kita doakan birokrasi kampus segera berbenah dan masih menjadikan kampus sebagai tempat yang merdeka untuk manusia, dan segera merelesasikan apa yang menjadi permintaan mahasiswa! karena percayalah selama jantung masih berdetak tak akan ada upaya untuk berhenti berjuang !
“Dengan cinta dan sedikit keras kepala kabarkan kebenaran pada mereka yang tak jelas berkata”
HIDUP MAHASISWA !!!