Menanti Sikap DPR atas Perppu Penanganan Covid-19


Warning: Attempt to read property "post_excerpt" on null in /home/suarapem/public_html/wp-content/themes/covernews/inc/hooks/blocks/block-post-header.php on line 43

Akhir Maret lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Salah satu dasar terbitnya Perppu ini memberi fondasi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan. Seperti, mengalokasikan anggaran belanja negara untuk kesehatan; jaring pengaman sosial; pemulihan perekonomian termasuk dunia usaha; dan masyarakat terdampak.

Pemerintah memutuskan tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 yang totalnya sebesar Rp405,1 triliun. Rinciannya: Rp75 triliun belanja bidang kesehatan; Rp110 triliun perlindungan sosial; Rp70,1 triliun insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR); dan Rp150 triliun pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMKM). Hal ini melalui realokasi dan refokusing APBN 2020 maupun APBD di setiap pemerintah daerah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, Presiden Joko Widodo berharap agar RUU Perppu ini bisa dibahas dan disetujui oleh DPR. “Presiden meminta untuk menyerahkan RUU ini kepada pimpinan DPR dengan harapan RUU ini bisa dibahas dan disetujui oleh DPR dalam waktu yang tidak terlalu lama,” kata Sri Mulyani usai menyerahkan Perppu kepada Ketua DPR RI Puan Maharani, Kamis (2/4/2020) lalu seperti dikutip Antara.

Meski mendapat respons positif, Perppu ini tak luput dari kritik dan perhatian sejumlah kalangan. Diantaranya, pertama, substansi Pasal 27 Perppu terkait biaya penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian bukan kerugian negara serta tindakan pejabat pelaksananya dengan itikad baik tidak bisa dituntut/digugat secara pidana/perdata dan bukan objek gugatan TUN. Kedua, substansi Pasal 28 Perppu ini memangkas sebagian fungsi anggaran (budgeting) DPR.

Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto menilai Pasal 27 Perppu No.1 Tahun 2020 merupakan bentuk impunitas (pengampunan terhadap pejabat yang menggunakan anggaran penanganan Covid-19, red). Dia menilai substansi Pasal 27 itu sangat berbahaya jika nanti diterapkan karena berpotensi disalahgunakan karena menghilangkan pertanggungjawaban hukum si pelakunya.

“Para pengambil kebijakan seharusnya tidak boleh lari dari tanggung jawab ketika pelaksanaan Perppu itu bermasalah secara hukum,” kata Ardi Manto ketika dihubungi.

Ardi menilai frasa “itikad baik” dalam Pasal 27 ayat (1) Perppu No.1 Tahun 2020 itu tidak bisa atau sulit dibuktikan secara empirik. Sebab, frasa itu pembuktiannya sangat subjektif jika di kemudian hari terjadi permasalahan hukum. Menurut Ardi, tidak ada alasan yang dapat dibenarkan bagi pembuat kebijakan untuk mendapat hak imunitas (kekebalan hukum, red) seperti termuat dalam Pasal 27 Perppu No.1 Tahun 2020 itu.

“Ketentuan ini bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law),” katanya.

 

Tidak perlu ada

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mendukung terbitnya Perppu No. 1 Tahun 2020 ini, kecuali Pasal 27. Sebab, jika melihat substansi Pasal 27 itu seolah-olah setiap perbuatan menyimpang atau tidak menyimpang dalam membuat kebijakan tidak ada akibat hukumnya. “Pasal itu harus dipahami bahwa pemerintah tidak akan menghilangkan pertanggungjawaban pidana,” kata Feri saat dihubungi Hukumonline, Rabu (8/4/2020).

Dia menilai Pasal 27 Perppu No. 1 Tahun 2020 tidak dapat meloloskan siapapun jika terjadi penyalahgunaan anggaran untuk tujuan tidak sebagaimana mestinya. Menurutnya, pasal itu harus dianggap agar pejabat tidak ragu bertindak demi kepentingan negara (ketika menangani Covid-19), tetapi kalau pejabat pemerintahan menyimpang dari tujuan Perppu itu, tetap harus dihukum sesuai KUHP dan UU Pemberantasan Tipikor.

Misalnya, dana yang diperuntukan kepentingan penanggulangan bencana kesehatan akibat wabah Covid-19 malah digunakan untuk kepentingan pribadi. “Jadi, harus tetap ada pertanggungjawaban pidananya. Pemerintah dan DPR itu harus berkonsentrasi menghadapi/melawan corona dalam status keadaan darurat kesehatan masyarakat, bukan untuk tujuan lain!”

Senada, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai Pasal 27 tidak perlu ada. Sebab, aturan itu memberi hak imunitas secara perdata, pidana, administrasi negara kepada beberapa pejabat yang diberi wewenang anggaran penanganan Covid-19 dan penyelamatan perekonomian nasional. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Sekalipun pelaksanaannya dengan itikad baik sesuai UU, aparat penegak hukum tetap bisa menjerat mereka (jika menyimpang, red),” kata dia.

Menurutnya, Pasal 27 Perppu ini seolah-olah telah melampaui/melebihi kekuasaan pengadilan karena disebutkan setiap keputusan yang mereka buat tidak bisa dijadikan objek gugatan TUN. “Ini telah mengambil kewenangan kekuasaan kehakiman, seharusnya jalani saja tugas eksekutifnya, wajar kalau ada warga negara yang tidak setuju dengan kebijakan dan tindakan mereka menggugat ke pengadilan karena rakyat berhak mengontrol negara dalam sebuah negara hukum yang demokrasi.”

Pasal 27

  1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
  2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangn-undangan.
  3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

 

Fungsi anggaran DPR

Hal lain yang menjadi perhatian Bayu, ketentuan yang mencabut beberapa pasal dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) terkait kewenangan anggaran DPR dalam membahas kebijakan penyusunan APBN seperti termuat dalam Pasal 28 angka 10 Perppu ini. Padahal, fungsi anggaran (budgeting) DPR dijamin konstitusi. “Tidak elok Perppu mencabut fungsi DPR. Saat ini DPR sudah tidak bisa lagi berbicara mengenai anggaran,” kata Bayu.

Menurutnya, cara mengembalikan fungsi anggaran ini, DPR segera melakukan sidang berikutnya membahas Perppu ini mengusulkan pembatalan. Namun, jika DPR ingin menyetujui Perppu ini, fungsi anggaran DPR bisa dikembalikan dengan cara membuat UU Perubahan atas Perppu yang sudah ditetapkan menjadi UU bersama-sama Presiden untuk mengembalikan fungsi anggaran DPR.

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Aboe Bakar Alhabsyi mempertanyakan Pasal 28 Perppu ini karena telah memangkas sebagian fungsi anggaran DPR. Misalnya, kewenangan menentukan defisit, besaran belanja wajib, menggeser anggaran, menerbitkan surat utang, memberi pinjaman, menetapkan anggaran dari luar negeri, hingga memberi hibah ke pemda tanpa melibatkan DPR. Hal itu diatur Pasal 2 Perppu 1/2020 yang mengatur sejumlah kewenangan/hak keuangan negara yang semestinya juga melibatkan DPR.

Menurutnya, Pasal 28 angka 10 Perppu ini telah mencabut kewenangan anggaran DPR dalam UU MD3. Sejumlah pasal dihapus, seperti Pasal 177 huruf c angka 2; Pasal 180 ayat (6); dan Pasal 182. Dengan begitu, DPR tak lagi memiliki kewenangan membahas penyesuaian Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan.

Pasal 28 angka 10 Perppu 1/2020

 

Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku:

 

“Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.

 

dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini.”

Feri melanjutkan Perppu Stabilitas Sistem Keuangan merupakan hak prerogatif presiden berdasarkan “hak ihwal kegentingan yang memaksa”. Berlakunya Perppu itu ketika ditandatangani dan ditetapkan Presiden dan akan diobjektifkan oleh DPR dalam persidangan berikutnya. Namun, sepanjang belum disidangkan oleh DPR, maka Perppu itu berlaku sebagaimana layaknya UU.

“Saat ini Perppu No. 1 Tahun 2020 sudah berlaku, sampai ada sidang DPR berikutnya yang menyatakan setuju atau tidak setuju dengan Perppu tersebut,” katanya.

Dwi Anggono pun menambahkan tidak ada ketentuan yang mengatur jangka waktu kapan DPR harus membahas Perppu. “Kalau DPR belum membahas, seluruh isi Perppu tersebut akan terus berlaku sampai DPR bersidang untuk menerima atau menolaknya,” kata Bayu.

Mengutip pandangan Prof Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, berlakunya Perppu memiliki waktu terbatas (sementara). Sebab, cepat atau lambat, Perppu mesti dimintakan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. DPR sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan membentuk UU harus menilai secara obyektif ada tidaknya kondisi kegentingan yang memaksa itu.

Sementara itu, dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, MK telah memberi tiga parameter adanya “kegentingan yang memaksa”. Pertama, adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Merujuk UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tidak memberi batasan pengertian Perppu. Secara prinsip, Perppu sudah dapat berlaku dan mengikat sejak diterbitkan meski belum mendapat persetujuan DPR. Bahkan, memiliki kedudukan setingkat UU seperti diatur Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

Secara prosedural, terbitnya Perppu oleh presiden, diajukan ke DPR pada masa persidangan berikutnya untuk mendapat persetujuan sesuai bunyi Pasal 22 UUD Tahun 1945. Jika tidak disetujui, Perppu itu harus dicabut. Pengajuan Perppu dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu menjadi UU seperti diatur Pasal 52 UU No.12 Tahun 2011.

Pemberian persetujuan atau penolakan sebuah Perppu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR sebagai forum rapat tertinggi di parlemen. Namun, kewenangan DPR dalam UUD Tahun 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 serta praktiknya hanya sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap Perppu yang diajukan presiden/pemerintah.

Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva sebelumnya pernah mengungkapkan Perppu yang diterbitkan pemerintah dan disetujui oleh DPR dalam praktiknya (pemerintahan sebelumnya) cenderung murni politik. Karena itu, melalui putusan MK itu diberi petunjuk atau parameter bagi parlemen dalam memberi persetujuan atau penolakan terhadap terbitnya sebuah Perppu.

“Bagi saya hampir semua itu adalah (pertimbangan, red) politik, persetujuan politik. Untuk tidak terlalu politik, ini loh koridornya (putusan MK), karena negara ini negara hukum. Sebab, produk Perppu itu menunjukan absolutisme presiden dalam keadaan sementara.”

Pertanyaannya, jika sebagian substansi Perppu No. 1 Tahun 2020 dinilai mengandung masalah itu, bisakah sebagian kecil pasalnya ditolak dan sebagian besarnya Perppu tersebut disetujui DPR? Kita tunggu saja!

sumber: hukumonline.com