Populisme Islam di Indonesia, Turki dan Mesir (3)
Warning: Attempt to read property "post_excerpt" on null in /home/suarapem/public_html/wp-content/themes/covernews/inc/hooks/blocks/block-post-header.php on line 43
Salah satu komunitas yang mendukung populisme Islam baru di banyak negara, termasuk di Indonesia, Mesir, dan Turki adalah adalah middle class urban (kelas menengah perkotaan).
Hal itu membedakan dengan populisme Islam lama, yang banyak disokong kaum borjuasi Islam (santri) yang hidup di perkotaan, aktifitas sosial ekonomi mereka sebagian besar sebagai pedagang dan tak tergantung dengan birokrasi kaum kolonial.
Dalam konteks Indonesia, kita melihat background aktivis pergerakan di organisasi Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU) adalah kaum santri yang pondasi sosial ekonominya ditentukan mereka sendiri sebagai pedagang, petani dengan lahan luas, pendidik, dan lainnya.
Pendukung baru populisme Islam era pasca-kolonialisme adalah elemen-elemen kelas menengah perkotaan. Mereka mampu membangun sejenis kelompok lumpen intelijensia (Roy 1994; Wickham 2004).
Populisme Islam baru jelas merupakan fenomena sosial politik masyarakat urban, untuk alasan kepentingan transformasi sosial politik yang menyelimuti sebagaian besar dunia Islam.
Mereka memiliki pendidikan tinggi, tapi tertahan di level sosial yang begitu rendah. Mobilitas dan hirarki politiknya lebih rendah. Dalam konteks Indonesia, mereka yang disebut kelas menengah perkotaan hanya sedikit lebih sejahtera dibanding kaum miskin perkotaan. Posisi sosial mereka cukup rentan, sehingga sewaktu-waktu dapat dengan mudah tergelincir kembali ke dalam kondisi kemiskinan
(Vedi R Hadiz, 2019: 70).
Selain itu, dalam konteks Indonesia, negara ini memiliki akar sejarah dan tradisi politik sekuler populisme nasional yang kuat. Yang terkait erat dengan Presiden Pertama RI Soekarno. Tradisi semacam ini bisa dibedakan dari tradisi populisme
Islam baru dalam hal terminologi dan pencitraan yang dipakai untuk memobilisasi dukungan dengan basis massa luas, khususnya di kalangan kaum miskin perkotaan.
Tak jarang terjadi tumpang-tindih dan konflik keras dalam konteks ini, khususnya saat kontestasi politik, seperti pileg, pilpres, dan pilkada.
Kembali tentang populisme Islam baru di Turki, kita tak mungkin melepaskan dari Partai AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) dengan tokoh sentral: Tayyip Recep Erdogan. Dalam perspektif sosiologi sejarah politik, Partai AKP tak sekadar lekat dengan figur Erdogan, tapi partai ini pernah memiliki relasi dekat dengan gerakan Fethullah Gulen yang kaya raya dan sangat berpengaruh di negara tersebut.
Fethullah Gulen adalah ulama dan penulis Turki yang hidup dalam pengasingan di Amerika Serikat. Sikap dan pemikiran politik keagamaan Gulen begitu dipengaruhi Said NUrsi, seorang teolog dan pemimpin ordo keagamaan sufi yang sangat berpengaruh di Turki.
Organisasi itu, yang mendukung dialog antar-agama, memiliki pandangan pro-bisnis dan mengelola organisasi-organisasi amal sekolah di Turki dan banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Nursi meninggal dunia pada 1960, karena dipersekusi negara di bawah pemerintahan Kemal dan selama hidupnya dikenal sangat kritis terhadap pemikiran filsafat materialistis, seperti komunisme (Vedi R Hadiz, 2019: 47).
Kalangan elite Partai AKP sebagian besar bukan berasal dari warga yang memiliki pendidikan teologi Islam yang rigid dari pedesaan Turki. Mereka umumnya berasal dari kalangan profesional kelas menengah dan atas yang memperoleh pendidikan sekuler dan jarang yang mendapatkan pendidikan agama secara tradisional.
Sebagian mungkin bersekolah di sekolah menengah yang disebut Imam Hatip: Lembaga pendidikan agama untuk mendidik imam-imam masjid yang disahkan rezim politik Kemalisme di Turki. Sekolah-sekolah Imam Hatip kurikulumnya tak jauh berbeda dengan sekolah sekuler yang dilegalisasi negara. Karena itu, elite
Partai AKP dan pendukung populisme Islam baru di Turki umumnya memiliki pendidikan formal keagamaan Islam lebih sedikit dibanding sejawatnya di Mesir dan Indonesia.
Vedi R Hadiz (2019), mengatakan, transformasi internal dalam organisasi seperti Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir terutama merupakan hasil dari komposisi keanggotaannya yang berubah. Alih-alih pendakwah dan guru yang berasal dari latar belakang pedesaan atau semi-pedesaan seperti Hasan Al Banna dan Sayyid Quth.
Kebanyakan aktivisnya hari ini adalah produk sistem pendidikan nasional sekuler yang secara luas diterapkan di era kepemimpinan Presiden Jenderal Gamal Abdul Nasser.
“Sistem pendidikan itu kini berkontribusi secara signifikan pada formasi kelas menengah baru yang terdidik dan lebih ambisius, yang sebagian anggotanya menemukan rumah di dalam IM untuk mengembangkan gagasan dan strategi menantang negara otoriter yang menghambat kemajuan sistem meritokrasi. Perkembangan ini sebagian menjelaskan bagaimana IM mampu memperoleh kendali atas banyak sindikat profesional di Mesir, yang terdiri atas kaum insinyur, dokter, pengacara, dan lainnya, sebelum negara menekan dengan keras kepada mereka di tahun 1990-an,” tegas Vedi Hadiz.
Populisme Islam baru di Mesir sangat kuat di level masyarakat, sekali pun pernah sebentar duduk di kekuasaan negara ketika Mohammad Mursi sebagai Presiden Mesir melalui Pemilu pada 2011. Di Turki populisme Islam baru kokoh di tingkat masyarakat, secara de facto dan de jure saat ini memegang kekuasaan politik negara di sana.
Sedang di Indonesia, populisme Islam baru terfragmentasi organisatornya, sehingga terjadi pembelahan sosial di level masyarakat dan nyaris tak pernah memegang kendali politik di ranah kekuasaan negara. Kekuatan kaum nasionalis sekuler populis dan militer (Orde Baru) yang lebih sering memegang kendali kekuasaan politik negara di Indonesia dibanding kekuatan populis Islam, sekalipun negara ini lebih dari 85 persen warganya muslim.
Populisme Islam baru di Turki yang didukung kelas menengah baru dengan pemahaman nilai-nilai Islami yang kuat, tak melupakan sektor ekonomi sebagai bagian penting perjuangannya.
Populisme Islam baru ini mengintegrasikan dan merepresentasikan kepentingannya melalui Partai AKP yang dipimpin Erdogan. Partai ini secara kuat merangkul kebijakan ekonomi neoliberal dan mengintegrasikan perekonomian Turki dengan kapitalisme global.
Kemajuan kaum borjuasi Islam di Turki ini dimungkinkan oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang pro-globalisasi dan ramah terhadap Eropa.
Untuk mencapai posisi politik dan ekonomi seperti sekarang, kaum populisme Islam baru di Turki, yang sebagian besar pendukung Partai AKP, tak diraih dengan cara mudah. Perjuangan AKP melibatkan serangan terus-menerus terhadap benteng Kemalisme, Sekulerisme ala Turki yang digagas Mustofa Kemal Attartuk, khususnya dalam institusi negara, yang sesuai dengan kepentingan material kaum borjuasi Anatolia dan yang lebih berbudaya Islam.
Walaupun munculnya kaum borjuasi jelas mendahului dominasi politik partai sejak 2002, sudah diduga bahwa ikatannya dengan AKP menguntungkan. MUSAID adalah asosiasi bisnis yang didirikan yang mewakili kepentingan kolektif kempok borjuasi ini.
Organisasi itu adalah pesaing utama asosiasi bisnis yang terkait erat dengan kaum borjuasi lama (komunitas Kemalisme dan Yahudi di Turki) yang berbasis Istanbul yakni TUSAID (Asosiasi Bisnis dan Industri Turki).
Selain itu, ada asosiasi bisnis lain, yakni TUSKON (Konfederasi Pebisnis dan Industrialis Turki), yang memiliki hubungan dengan perusahaan milik apa yang
disebut gerakan Fethullah Gulen, tarekat yang dikenal terkait erat dengan AKP dan kekayaannya tumbuh secara substansial selama bertahun-tahun.
Namun, belakangan ini para pemimpin gerakan ini berkonflik dengan kepemimpinan AKP di bawah Erdogan hingga menyebabkan perpecahan besar dalam aliansi politik yang telah menaikkan AKP ke puncak kekuasaan politik di Turki (Vedi R Hadiz, 2019:79).
Elite ekonomi lama Turki selalu terkait dengan kepentingan kaum militer dan politik sekuler, pendukung gerakan Kemalisme di negara tersebut.
Mereka bergabung dalam asosiasi yang disebut TUSAID. Salah satu komponen penting asosiasi ini pekerja Yahudi Turki dan orang-orang yang menamakan dirinya Yahudi Ad-Dunama. Asosiasi TUSAID memiliki sebanyak 545 anggota, di mana mereka memiliki tak kurang 1.300 perusahaan dengan melibatkan tak kurang setengah juta pekerja. Nilai transaksi ekonomi mereka per tahun sekiutar USD 70 miliar dan mampu mengontrol sekitar 47% dari nilai ekonomi produksi Turki secara keseluruhan.
Sebelum Partai AKP berkuasa, asosiasi TUSAID yang mempengaruhi kebijakan ekonomi dan bahkan politik Turki, yang banyak dikendalikan kaum sekuler dan militer.
Di luar TUSAID, ada MUSAID yang mulai muncul dan bergerak pada akhir 1980-an dari luar Ankara dan Istambul, terutama di kawasan Tengah Anatolia.
Mereka mengambil manfaat dari perubahan keuangan yang besar orang-orang Turki di Eropa dan Amerika. Kalangan ini lebih memperhatikan nilai-nilai Islam dan bersifat konservatif dalam konteks sosial.
Usaha bisnis dan sistem ekonomi yang diterapkan dalam aktifitas bisnisnya berusaha sekuat tenaga menjauhi sistem riba yang diharamkan dalam Islam. Kenyataan ini mengakibatkan banyak negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah dan Teluk mengalokasikan investasinya di Turki melalui asosiasi ini.
Kalangan ini mendapat sokongan besar bersamaan dengan naiknya popularitas bapak spiritual Islam Turki: Necmettin Erbakan. Tokoh ini memiliki program ambisius industrialisasi Turki dan mengubah Turki menjadi pusat industri. Hal ini sebagai ganti dari ketergantungan Turki pada sektor ekonomi yang rapuh, seperti pariwisata dan jasa. MUSAID yang berdiri pada tahun 1990-an memiliki anggota sekitar 2.600 pengusaha, yang memiliki tak kurang 800 perusahaan dengan melibatkan sekitar 2 juta tenaga kerja.
Jika sebagian orang melihat bahwa MUSAID merupakan kepanjangan tangan ekonomi yang mendukung AKP, yang berlawanan dengan TUSAID yang merapat kepada kaum sekuler dan militer Turki, banyak pengamat menilai Erdogan memiliki kebijakan yang cerdas yang tak dimiliki oleh banyak tokoh gerakan Islam di dunia.
Erdogan dan kolega politiknya beralih ke dalam peran yang sangat mereka kuasai, yakni bidang ekonomi, berdasarkan pengalaman mereka memimpin sejumlah daerah-daerah besar di Turki. (Syarif Taghian, 2015: 76-77).
Dalam konteks politik Turki, populisme Islam baru yang berhasil di level masyarakat didorong karena histori sosiologis masyarakat Turki yang memiliki identifikasi Islam sangat kuat. Sekali pun identifikasi nilai-nilai Islam di Turki sempat mendapat serangan tajam dari kaum sekuler sejak rezim Mustofa Kemal Attartuk pada awal 1920-an dan kelompok sekuler lainnya termasuk militer, tapi hal itu tak mampu meruntuhkan dan merontokkan nilai- nilai Islam yang kuat melembaga dalam ranah kultural masyarakat Turki.
Realitas tersebut diperkuat dengan strategi perjuangan kepemimpinan politik yang strong di bawah Partai AKP, dengan tokoh sentralnya Erdogan.
Model perjuangan ekonomi politik Erdogan dan AKP adalah mengintegrasikan ekonomi Turki ke dalam ekonomi global dan masyarakat ekonomi Eropa.
Sehingga perjuangan politik di ranah domestik tak selalu dicurigai sebagai gerakan Islamisasi Turki, karena watak dan sifat Partai AKP tak langsung mengusung kredo ideologi Islam tekstual dalam manifestonya. AKP tak sama persis seperti Partai
Refah di bawah pimpinan Necmettin Erbakan.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2002 Turki menandai terjadinya pergeseran bandul politik negara tersebut ke ideologi Islam Moderat yang diwakili Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP), partai dengan tokoh sentral Abdullah Gul dan Erdogan.
AKP, partai berpaham Islam Moderat, yang tak memusuhi Nasionalisme dan Sekulerisme Turki (Kemalisme). Platform politik AKP adalah konservatisme,
demokratisasi, dan reformasi pasar. Karena itu, AKP sangat mendukung kebijakan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa dan menjadikan negara ini menjadi bagian dua kawasan benua sekaligus: Asia dan Eropa.
AKP yang mengusung spirit Moderatisme Islam dalam konteks politik Turki mempertegas karakter Islam moderat di negara ini. Pendekatan moderat secara politik sesungguhnya melekat pada setiap partai Islamis yang bercikal bakal Gerakan Milli Gorus yang diawali Partai MNP dan Partai MSP di awal tahun 1970-an.
“Turki telah menempatkan jejak di panggung global dengan perkembangan mengesankan di bidang ekonomi dan stabilitas politik. Perekonomian Turki tumbuh paling cepat, ekonomi yang cukup besar di Eropa dan akan terus begitu pada tahun 2011. Menurut prakiraan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Turki akan menjadi ekonomi terbesar kedua di Eropa pada tahun 2050,” kata Erdogan sebagaimana dikutip dalam buku Dr Alfan Alfian (2018): Militer dan Politik di Turki.[air/bersambung]
sumber: beritajatim.com