Dari Neoliberalisme ke Deglobalisasi: Kritik Struktural Prof. Didin terhadap Tata Ekonomi Dunia
Prof. DR. Didin S Damanhuri, Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo sekaligus Guru Besar Ekonomi Politik IPB dan Paramadina, menegaskan bahwa globalisasi ekonomi yang selama ini menjadi pijakan dunia kini menghadapi ujian berat, dari berkah bagi negara maju hingga bencana bagi negara berkembang, dengan Indonesia berada di persimpangan kritis menghadapi ‘perang dagang’ dan bayang-bayang deglobalisasi pasca-tarif Trump.
Globalisasi perekonomian telah menjadi hard fact bagi semua negara termasuk berlaku di negara-negara sedang berkembang (NSB). Bagi sebagian negara, terutama bagi negara industri maju (NIM), mendatangkah berkah. Namun, bagi sebagian besar lainnya, terutama sebagian besar NSB, belum banyak membawa manfaat. Bahkan tak sedikit menimbulkan bencana, baik berupa makin membengkaknya kemiskinan dan pengangguran maupun menajamnya ketimpangan.
Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana kepentingan Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Akan tetapi, harus juga siap dengan tiba-tiba dunia termasuk Indonesia menghadapi ancaman ‘perang dagang’ dan kemungkinan terjadinya proses deglobalisasi.
GLOBAL BUBBLE ECONOMY: DECOUPLING SEKTOR FINANSIAL DAN SEKTOR RIIL
Semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya periode perang dingin awal dekade 80-an, praktis secara politik dunia memasuki periode Pax-Americana. Yakni, semua negara mau tak mau harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer Amerika Serikat (AS) beserta sekutu-sekutunya (tergabung dalam G-7). Hal itu juga membawa konsekuensi secara ekonomi. Dunia pun masuk secara monolitik ke dalam sistem perekonomian neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ke dalam World Trade Organization (WTO).
Jika ditilik secara intensif, kita melihat bagaimana asas neoliberalisme mendominasi dalam spirit WTO, di mana praktis lembaga tersebut telah menjadi ’wasit’ dalam proses globalisasi. Ini mengingat jargon the borderless world yang mereka implementasikan dalam aturan WTO, bahwa semua negara yang telah meratifikasikan pelbagai aturan yang tercantum dalam WTO, antara lain terpenting semua negara harus menghilangkan semua hambatan perdagangan–baik tarif maupun nontarif–dengan jadwal keharusan pelaksanaannya yang sangat ketat, beserta sanksi yang keras jika sebuah negara tak menaatinya.
Dengan begitu, berarti semua negara tanpa kecuali berada dalam persaingan bebas dalam perdagangan internasional. Dengan harga dan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan, mereka harus bersaing tanpa perlindungan (proteksi tarif maupun nontarif) dan subsidi apa pun kecuali untuk hal-hal yang sangat terbatas, misalnya bantuan untuk pelatihan bagi kalangan SME (small and medium enterprises).
Juga dalam ’era WTO’ ini, berarti asas neoliberalisme cenderung mengabaikan keragaman kemampuan di antara negara-negara dalam level of playing field. Padahal dengan prinsip tersebut, persaingan hanya akan menghasilkan kemakmuran bersama (prinsip pareto optimality/positive some game) jika diciptakan suatu kesamaan level dalam kemampuan tiap-tiap peserta/pelaku kegiatan ekonomi.
Ini justru dalam perspektif Adam Smith, bapak/pendiri ekonomi modern, harus berada dalam ‘kesetaraan level pasar’ guna menciptakan persaingan di antara para pelaku ekonomi, baik tingkat perusahaan maupun negara. Dengan kata lain, seperti layaknya dalam dunia pertinjuan dengan adanya kelas-kelas yang dipertandingkan (yang sama levelnya: ringan, terbang, dan berat), maka dalam alam globalisasi ekonomi yang dipimpin WTO dan negara Industri, itu cenderung diabaikan.
Dengan suasana ini memang secara positif masing-masing mempersiapkan semaksimal mungkin agar pada saatnya mampu memasuki dalam era persaingan global yang keras tersebut. Ini antara lain terlihat dari kesibukan para pelaku ekonomi dan politik menyambutnya dengan pelbagai kegiatan, baik di tingkat mikro (peningkatan kapabilitas SDM, manajerial, permodalan, teknologi, informasi) maupun makro (demokratisasi politik, penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, deregulasi ekonomi, reformasi birokrasi).
Dengan begitu, dilihat dari sisi ini, kejatuhan pemerintahan otoritarian dan korup di pelbagai belahan dunia termasuk di negeri ini pada akhir abad 20, bisa dipahami sebagai konsekuensi positif dari adanya tuntutan global dalam meningkatkan daya saing bangsa dalam era globalisasi.
Namun, dampak lainnya juga amat dahsyat. Antara lain dalam perkembangan dunia finansial. Diawali dalam rangka reposisi kalangan MNC (multi-national corporation) menghadapi persaingan global. Yakni, pada awal tahun 80-an, kalangan MNC bermula berpangkalan di AS dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan. Mereka memanfaatkan dana-dana menganggur semisal yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun dan asuransi. Juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valas dalam pasar uang.
Cara ini lantas menjalar ke negara-negar industri lainnya di Eropa dan Jepang. Lantas ke negara-negara industri baru: Singapura dan Hong Kong, hingga menginggapi semua negara dan menjalar ke semua level perusahaan (besar, menengah, bahkan kecil) yang praktis di akhir tahun 80-an dan 90-an terjadi peningkatan arus moneter yang sangat luar biasa dahsyatnya, tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa yang setara.
Pakar manajemen tingkat dunia Peter Drucker menyebut gejala ketidakseimbangan arus moneter dengan arus barang dan jasa tersebut sebagai adanya decoupling. Yakni, fenomena keterputusan antara maraknya arus uang yang tak diimbangi dengan arus barang dan jasa. Bersamaan dengan fenomena tersebut, marak pula kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan properti), sehingga dunia terjangkit penyakit ’ekonomi gelembung’ (bubble economy). Sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, tetapi tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.
Sekadar ilustrasi dari fenomena decoupling itu, misalnya sebelum krisis Asia, dalam satu hari dana yang gentayangan di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata beredar sekitar US$2 triliun-US$3 triliun atau dalam satu tahun sekitar US$700 triliun. Padahal, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahun hanya berkisar US$7 triliun. Jadi, perbandingannya berarti arus uang sekitar 100 kali lebih cepat daripada arus barang.
Sejak itu pula, fungsi uang bukan lagi sekadar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Sebaliknya, mereka yang merugi dalam satu titik waktu transaksi bisa mengalami kerugian miliaran dolar AS (triliunan rupiah).
Selanjutnya dalam konteks ’ekonomi gelembung dunia’ tersebut, bagaimana relevansi utang (baik utang pemerintah, lembaga multileteral, maupun investasi langsung swasta asing) bagi negara-negara dunia ketiga?
Sesungguhnya, hingga sekitar tengah dekade tahun 80-an, persepsi tentang utang luar negeri secara umum di dunia ketiga masih menggambarkan prospek positif, mengingat kisah sukses yang dicapai beberapa negara. Antara lain sejak sukses fantastis negara non-Barat yang dipertontonkan Jepang, disusul empat negara industri baru (Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong) serta Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan India yang kesemuanya di Asia.
Selain itu, Pantai Gading di Afrika adalah contoh negara-negara yang dianggap sukses mengelola utang secara relatif efisien dan efektif. Yang dianggap ’lumayan’ antara lain Mesir, Brasil, Argentina, Meksiko, Cile, dan Peru. Artinya, negara-negara yang disebut terakhir pernah gagal lantas kembali mampu memperbaiki kinerja ekonomi maupun politiknya, dengan tetap memanfaatkan utang luar negeri untuk strategi pembangunannya.
Adapun hampir sebagian besar negara Afrika dan Amerika Latin serta Asia Selatan lainnya dianggap telah terperangkap oleh utang sejak awal keterlibatan dengan utang luar negeri hingga kini. Penyebabnya justru karena umumnya negara-negara tersebut otoriter dan/atau korup.
Itu semua merupakan situasi umum sebelum krisis Asia dan globalisasi yang semakin riil sejak awal tahun 90-an. Artinya, terdapat tiga kategori negara-negara dunia non-Barat dalam memanfaatkan utang luar negeri: Sukses, lumayan, dan gagal. Indonesia sendiri masih dapat dikategorikan di tengah-tengah, antara sukses dan gagal. Dan itu terkait bukan hanya karena kaitan utang luar negeri dengan manajemen ekonomi an sich, tapi juga erat hubungannya dengan tingkat dan proses demokrasi politik, ekonomi, dan sosial secara timbal balik.
Selanjutnya, terutama sejak krisis Asia tengah 1997, persepsi tentang utang luar negeri berubah arti secara signifikan. Yakni, karena fenomena atas peran fund managers semacam Soros dkk, global and national bubble economy, bad governance, dan hegemoni negara industri yang telah menciptakan ketidakadilan global. Maka, persepsi tentang utang luar negeri baik bilateral, multilateral (terutama peran IMF dan World Bank), utang swasta (peran utang jangka pendek dan portfolio investment) telah dipersepsikan sangat merugikan NSB, bahkan sebagai bentuk baru kolonialisme dan imperialisme. Yang masih dianggap positif tampaknya ialah modal asing dalam bentuk FDI (foreign direct investment) yang relatif bagi negara-negara penerima investasi masih lebih banyak manfaatnya, baik dalam bentuk penciptaan kesempatan kerja, penyerapan teknologi, manajemen, pengetahuan, dan pengalaman, tanpa terlalu banyak campur tangan asing dalam pengelolaan problem domestik negara penerima modal.
Iran pasca-Syah Iran adalah negara yang jumlahnya nol dalam utang pemerintahnya, dan hanya memanfaatkan kerangka FDI. Juga fenomena keberhasilan yang spektakuler dari Malaysia dalam menghadapi krisis Asia untuk pemulihan dan kebangkitan ekonominya tanpa bantuan IMF. Bahkan, nama Mahatir Mohamad telah terpatrikan di dunia, yang dianggap menjadi pelopor untuk menentang hegemoni negara maju serta sering kali melontarkan pentingnya Asian monetary fund dan bahkan pelopor untuk membangun ’arsitektur baru keuangan dunia’, yang menganggap arsitektur lama hanya menguntungkan kepentingan negara-negara maju.
DILEMMA GLOBALISASI
Wacana tentang globalisasi yang berlangsung sampai saat ini telah terentang dari mulai kubu pro-globalisasi hingga kubu anti-globalisasi. Memang sulit mengambil posisi netral. Bagaimanapun, dalam realitas telah terjadi akselerasi dan intensifikasi, dalam interaksi ekonomi di antara orang per orang, antarperusahaan, hingga antarnegara akibat globalisasi tersebut.
Perdagangan internasional dalam jarak geografis yang jauh sudah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Beberapa abad yang lalu, orang-orang dan perusahaan-perusahaan di satu negara juga sudah melakukan investasi di lain negara. Selanjutnya, beberapa dasawarsa yang lalu, perkembangan teknologi telah memacu peningkatan besar-besaran lintas-batas perdagangan, investasi, dan migrasi.
Sejak tahun 1950, volume perdagangan dunia telah meningkat 20 kali lipat. Population Bulletin mencatat, perdagangan barang dan jasa jumlahnya mencapai US$6,5 triliun pada tahun 2000, yakni hampir seperempat dari total produk domestik bruto (PDB) dunia yang besarnya US$31 triliun. Adapun arus investasi asing, dari tahun 1997 hingga 1999 saja besarnya hampir dua kali lipat (dari US$468 miliar menjadi US$827 miliar). Itulah globalisasi, nama yang diberikan pada pertumbuhan kegiatan ekonomi global yang tumbuh semakin intensif. Namun, globalisasi itu juga bisa berarti ‘regionalisme’. Misalnya, ketika terungkap bahwa 75% perdagangan dan 80% produksi berlokasi di dalam tiga blok besar perdagangan regional di dunia ini, yaitu Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat (AS).
Globalisasi telah digerakkan oleh kebijakan-kebijakan perekonomian terbuka secara domestik dan internasional. Dalam tahun-tahun seusai Perang Dunia II, terutama satu-dua dasawarsa terakhir, banyak pemerintah telah menerapkan sistem ekonomi pasar bebas, meningkatkan secara besar-besaran potensi produksi mereka, dan menciptakan banyak peluang baru dalam perdagangan internasional dan investasi.
Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa globalisasi itu adalah fenomena yang sangat menjanjikan. Ekspansi perdagangan internasional boleh dikatakan menawarkan banyak peluang, termasuk kepada yang paling miskin sekalipun, untuk memperbaiki keberuntungan ekonomi mereka.
Akan tetapi, globalisasi juga bisa berdampak tak nyaman. Kebijakan yang buruk dapat menelantarkan suatu negara, atau sebagian besar penduduk suatu negara, yang berada di pinggiran perekonomian dunia (peripherial capitalism).
Dalam kondisi globalisasi, inisiatifnya berasal dari administrasi Clinton di AS sebagai upaya agar AS dapat mengembalikan supremasi ekonomi dunia karena terjadi defisit anggaran dan perdagangan di era Reagan sekitar US$500 miliar. Maka, globalisasi sebenarnya mengandung bias AS. Dengan telah berjalannya sekitar 3,5 dasawarsa globalisasi, malah yang lebih diuntungkan ialah Tiongkok, dan AS makin menjadi korban globalisasi itu sendiri. Sementara itu, bagi sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia, masih menjadi masalah dalam menghadapi globalisasi.
Dalam satu dasawarsa, ternyata administrasi Trump baik di era pemerintahan pertama (2017-2021) maupun kedua (2025-2029), AS sebagai negara adidaya justru menganggap dengan globalisasi telah merugikan perekonomiannya. Yakni terjadinya lagi-lagi defisit neraca peredagangan yang kolosal, sekitar US$918 miliar atau lebih dari Rp15.000 triliun.
Oleh karena itu, secara mengejutkan Trump mengumumkan penaikan tarif sangat tinggi kepada lebih 60 negara untuk ekspor barang dan jasa ke AS. Indonesia ternyata menjadi salah satu negara yg dikenai tarif sangat tinggi oleh pemerintahan AS/Trump tersebut, yakni sebesar 32%.
Dari ‘Trump tariff’ tersebut, ada kemungkinan tujuh dampak dan tujuh saran dalam menghadapinya. Dampaknya antara lain, pertama, akan terjadi depresiasi rupiah yang sebelumnya pun sampai Rp16.700/1 dolar AS, dan satu hari sejak pengumuman Trump, kurs dolar AS melampaui Rp17.000/ 1 dolar AS, dan entah sampai berapa dalam lagi depresiasi rupiah tersebut akan terjadi.
Kedua, akan banyak perusahaan besar melakukan PHK besar-besaran mengingat dalam usahanya terdapat unsur dolar AS sehingga bisa terancam memailitkan dirinya/bangkrut dan kemudian memilih PHK sebagai upaya rasionalisasi korporasi.
Ketiga, terjadi rentetan dampak terhadap berbagai kaitan usaha besar dengan UMKM karena adanya rantai ke depan dan ke belakang dari usaha besar tersebut. Keempat, akan terjadi makin turunnya penerimaan pajak dari pemerintah, yang terakhir ini pun sudah turun sekitar 30%.
Kelima, akan terjadi penurunan daya beli masyarakat secara lebih massif lagi, yang saat inipun sudah terjadi melemahnya daya beli masyarakat (misal mudik baik jumlah orang maupun perputaran uang turun sekitar 24%).
Keenam, akan menimbulkan sentimen pesimisme baik dalam usaha UMKM dan usaha besar maupun pemerintah (pusat maupun daerah), yang sekarang pun pesimisme tersebut sudah cukup melanda publik atas perekonomian. Ketujuh, akan makin meningkatnya aksi kriminalitas, yang kini pun sudah meresahkan masyarakat.
Oleh karena itu, beberapa upaya disarankan. Pertama, pemerintahan Prabowo segera mengevaluasi dampak jangka pendek, menengah, dan panjang akibat tarif tinggi dari AS terhadap perekonomian, seraya melakukan negosiasi langsung dengan pemerintahan Trump, membuat kebijakan diversifikasi tujuan ekspor, serta upaya kerja sama ekonomi ASEAN, OKI, atau BRICS plus.
Kedua, hendaknya pemerintah melakukan reajustment terhadap situasi baru akibat dampak jangka pendek, menengah, dan panjang atas tarif tinggi dari AS tersebut atas keseluruhan visi, misi, dan program pemerintah sendiri.
Ketiga, hendaknya disiapkan shifting pendanaan dari progran-program jangka menengah dan panjang untuk memberikan stimulus besar-besaran kepada para pelaku usaha guna membangkitkan pasar dalam negeri terutama kepada kalangan UMKM dan daerah-daerah.
Keempat, menghentikan pengeluaran-pengeluaran APBN dan APBD yang tidak perlu, seperti perjalanan ke luar negeri, rapat-rapat di hotel, dan upacara-upacara seremonial.
Kelima, menghentikan narasi-narasi pembelahan bangsa baik dari kalangan the rullling elite maupun civil society dan didorong terjadinya konsolidasi politik, ekonomi, dan sosial untuk menghadapi situasi terburuk sekalipun.
Keenam, kepada keluarga-keluarga hendaknya melakukan belanja yang lebih memprioritaskan pada kebutuhan pokok seraya lebih menghidupkan kondisi tolong-menolong (ta’awun) antarkeluarga, tetangga, antar-RT/RW, daerah-daerah, sehingga tak seorang pun dibiarkan ekonomi keluarganya mengalami kesulitan.
Ketujuh, hendaknya aparat keamanan lebih gercep dan bijak menghadapi situasi gangguan kamtibmas yang mungkin makin meningkat dalam waktu-waktu ke depan.
Mudah-mudahan, Indonesia dapat mengambil hikmah, baik dari pengalaman dalam menghadapi globalisasi maupun kemungkinan menghadapi deglobalisasi ke depan. Semoga.