NGERI !! Satpol PP Jangan Main Mata, Keselamatan Warga  Jl.Mulia Bakti Tidak Bisa Ditukar

Screenshot_20250119-123327_1

(Foto : Istimewa)

Jakarta Selatan, 27 Mei 2025 – Di tengah hiruk-pikuk urbanisasi yang semakin padat, warga Jl. Mulia Bakti No. 10, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dihadapkan pada ancaman nyata: keberadaan reklame ilegal alias reklame bodong yang berdiri tanpa izin resmi.

Reklame ini tidak hanya merusak wajah kota, tetapi juga menempatkan keselamatan warga di ujung tanduk. Didirikan di lahan swasta tanpa mengantongi izin teknis dan administrasi yang seharusnya, papan reklame ini menjelma menjadi potensi bencana yang menunggu waktu.

“Kami sudah berkali-kali melapor, tapi reklame itu tetap berdiri angkuh. Kami khawatir kalau ada angin kencang, bisa roboh dan menimpa siapa saja,” keluh salah satu warga dengan nada getir.

Kekesalan warga bertambah karena minimnya respon dari pihak berwenang. Dalam masyarakat yang seharusnya menjunjung tinggi keselamatan publik, kelambanan seperti ini hanya mempertegas dugaan: ada pembiaran, atau lebih buruk lagi, permainan di balik layar.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Khoirudin, angkat bicara menyikapi keresahan tersebut. Ia menegaskan bahwa seluruh pendirian reklame harus tunduk pada regulasi, tanpa terkecuali.

“Satpol PP harus bergerak cepat dan tegas. Jangan ada permainan mata. Bila terbukti melanggar, reklame itu harus dicopot. Tidak bisa berlindung di balik status tanah milik pribadi,” tegasnya.

Khoirudin juga mengingatkan bahwa mendirikan reklame bukan sekadar pasang tiang dan spanduk. Prosedurnya panjang dan ketat, melibatkan beberapa instansi dan dokumen, termasuk:

Rekomtek lokasi dari Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta,

Izin Tata Letak Bangunan (TLB) dari Dinas PTSP,

Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dari Dinas Citata,

Izin Penyelenggaraan Reklame (IPR), serta

Sertifikat Keahlian (SKA) dari arsitek, struktur, dan laporan teknis.

Melewatkan satu saja dari prosedur itu, maka bangunan reklame dinyatakan ilegal, dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa kompromi.

“Ini bukan sekadar soal estetika kota. Ini soal menjaga kemaslahatan bersama, memastikan bahwa tak satu nyawa pun melayang hanya karena kelalaian birokrasi atau ketamakan segelintir oknum,” imbuh Khoirudin.

Warga kini menunggu, apakah pemerintah akan berpihak pada keselamatan publik, atau tetap membiarkan papan reklame berdiri sebagai monumen diam dari sistem pengawasan yang lumpuh? (Bar.S)