Mural dan Orasi : Ikhtiar Kapolri Listyo Sigit Prabowo Dalam Mereformasi Kultur Polri
Oleh : Dinal Gusti LSP Indonesia
Kuat secara Infrastruktural dan Struktural, namun satu hal yang menjadi tantangan besar bagi Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dewasa ini adalah Reformasi Kultural (Cultural Reform) yang belum sesuai harapan. Pernyataan tersebut diungkapkan sendiri oleh Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo saat dirinya mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Ruang Komisi III DPR RI, sebagai calon Kapolri pada tanggal 20 Januari 2021 lalu.
Optimalisasi Reformasi Kultural Polri adalah pekerjaan yang tak mudah bagi Kapolri terpilih, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dirinya sadar bahwa lambannya proses reformasi Polri secara kultural menjadi penyebab utama rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, Polri sangat membutuhkan konsep yang terukur, kesigapan, ketegasan dan keberanian seorang Pimpinan.
Ujian Leadership Kapolri Listyo Sigit
Baru beberapa bulan resmi menjadi pimpinan tertinggi Korps Bhayangkara, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di hadapkan dengan sejumlah persoalan yang berkait erat dengan marwah institusi. Kinerja aparat Kepolisian di lapangan mendapat sorotan hebat dari masyarakat. Penghapusan mural, penangkapan demonstran, kekerasan aparat, dugaan tak profesional dalam menangani kasus, hingga terlibat dalam tindak pidana berat—menjadi catatan kritis masyarakat untuk menilai kinerja Kepolisian.
Melihat rentetan persoalan yang di hadapi Polri, Kapolri Listyo Sigit tentu tidak tinggal diam. Sejumlah Surat Telegram dibuat Kapolri untuk menegaskan sikap sekaligus untuk mengurai persoalan demi persoalan yang terjadi di lapangan. Tak cukup dengan membuat Surat Telegram, Kapolri dalam pidatonya secara tegas dan berani untuk mengamputasi bawahannya yang dinilai tak presisi (sesuai) dengan intruksinya.
Adagium “Ikan busuk mulai dari kepala”—yang artinya kesalahan pimpinan akan terwarisi ke bawahan, menjadi referensi bagi Kapolri untuk mereformasi Polri secara kultural. Teladan menjadi sangat penting dalam posisi ini. Untuk itu Kapolri tegaskan kepada seluruh jajarannya di daerah untuk secepatnya “Membersihkan ekor”. Bila para pimpinan Polri tak sanggup menata bawahannya, maka konsekuensi yang akan diterima adalah dicopot dari jabatan untuk dievaluasi.
Ketegasan Kapolri tak hanya berlaku kepada para pimpinan Polri, sejumlah ‘Polisi Nakal’ di sejumlah daerah diberhentikan secara tidak hormat atau PTDH. Kapolri secara tegas tidak akan memberikan ruang sejengkal pun bagi personel-personel Polri yang tak tunduk pada aturan. Dan hal ini membuktikan komitmen Kapolri untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum tuntas yakni : Reformasi Polri secara Kultural.
Reformasi Kultural di tubuh Polri tak akan berjalan tanpa adanya konsep terukur, serta sikap tegas dan berani seorang Pimpinan Polri. Kapolri Listyo Sigit dalam hal ini tak hanya gunakan metode hukuman (Punishment) untuk mendisiplinkan bawahannya, tetapi juga memberikan penghargaan (Reward) kepada para anggota dan pimpinan yang menjalankan tugas dengan baik dan bekerja keras melayani dan mengayomi masyarakat—bahkan reward pun diberikan kepada Jajaran Polri yang mampu membina keluarga harmonis. Bagi Kapolri, Keharmonisan rumah tangga adalah salah satu indikator untuk naik pangkat atau jabatan.
Festival Mural dan Orasi
Banyak orang yang ragu dan sinis ketika Kapolri Listyo Sigit berinisiasi untuk menggelar Festival Mural. Mereka beranggapan Festival tersebut hanyalah trik (gimmick) yang dibuat Polri untuk menutup-nutupi wajahnya yang sempat tercoreng karena insiden Penghapusan Mural di sejumlah daerah. Polri pada saat itu dicap sebagai institusi yang anti kritik dan reaktif.
Namun penulis justru melihat dimensi yang sangat orisinil dan revolusioner dari Festival Mural Bhayangkara yang digagas Kapolri. Di tangan Kapolri, Festival mural justru dijadikan alat atau medium untuk menilai sejauhmana kinerja jajarannya. Kritikan untuk Polri bebas dilukiskan oleh para seniman mural—dan bahkan yang paling unik adalah ketika Kapolri sampaikan pesan kepada para seniman : “Yang paling pedas mengkritik polri, akan menjadi sahabat saya”. Walhasil, Lukisan Mural Paling Kritis terhadap Polri berhak menjadi pemenang Festival.
Kecerdasan Kapolri dalam memanfaatkan budaya (seni mural) untuk mereformasi kultur Polri terbilang sangat brilian. Dalam festival tersebut masyarakat (seniman) dilibatkan untuk membantu mempercepat visi Polri yang Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan (Presisi). Festival ini terbilang sukses mengeliminir stigma buruk yang diterima Polri. Masyarakat tak lagi trauma dengan Polisi, justru semakin dekat dan bersahabat.
Pada tanggal 10 Desember 2021 nanti, masyarakat dunia akan memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Bulan ini adalah momentum masyarakat dunia dan juga Indonesia untuk menyampaikan isu-isu HAM. Momentum dunia ini juga dimanfaatkan Polri untuk mempercepat terwujudnya Reformasi Kultural Polri dengan menggelar : Lomba Orasi atau Unjuk Rasa untuk warga negara.
Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan dipertegas melalui UU Nomor 9 Tahun 1998. Polri dalam hal ini memiliki peranan sentral untuk mengawal dan melindungi warga negara ketika menyampaikan aspirasi di muka umum. Hadirnya Polri di tengah-tengah warga negara adalah garansi agar proses demokrasi berjalan dengan tertib dan nyaman.
Digagasnya Lomba Orasi Unjuk Rasa oleh Polri, secara eksplisit adalah wahana untuk mengedukasi warga negara agar tertib dan presisi dengan hukum yang berlaku di Republik ini. Namun penulis melihat kegiatan ini tak serta merta sebagai lomba yang bersifat edukatif, melainkan suatu medium bagi Polri untuk mengakrabkan diri dengan tradisi kritik dalam Demokrasi. Melalui kegiatan ini Polri secara implisit ingin tegaskan diri sebagai lembaga yang terbuka dan humanis.
Penutup
Penulis membuat dua catatan penting dari Leadership Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam rangka mereformasi Polri secara kultural. Pertama, Kapolri miliki kepekaan tinggi pada tradisi kritik yang digamit oleh Demokrasi itu sendiri. Melalui sejumlah program-program revolusioner yang disertai dengan komitmen tinggi pada Transformasi Polri, stigma buruk yang melekat pada Polri perlahan-lahan mulai renggang. Phobia kini mulai berubah jadi cinta.
Kedua, Kapolri tak hanya peka terhadap realitas demokrasi itu sendiri, melainkan juga cerdas dalam memilih instrumen untuk mengubah citra Polri. Melalui pendekatan seni budaya yang melekat pada rakyat, seperti halnya : Seni Mural dan Seni Orasi—Kapolri mampu memfasilitasi ruang bagi publik untuk berekspresi dengan tertib. Dari buah-buah ekspresi publik tersebut, Kapolri menjadikannya sebagai stimulus (appetizer) untuk mengeskalasi kinerja Polri sebagaimana yang tertuang dalam jargon Polri Presisi.
Oleh : Dinal Gusti—Penulis adalah Pegiat Lentera Studi Pemuda Indonesia (LSP Indonesia). Berdomisili di Kota Bogor.