Oleh : Dinal Gusti dan Deni Wahyudi, Pegiat Lentera Studi Pemuda Indonesia [LSPI]
“Menjadi orang penting itu baik. Tapi lebih pentingnya lagi menjadi orang baik.”–Jenderal Hoegeng.
Salah satu humor Gus Dur yang paling populer adalah ceritanya tentang ‘Tiga Polisi Jujur’. Menurut Gus Dur, di Indonesia ini hanya ada tiga Polisi jujur. Pertama, polisi tidur. Kedua, patung polisi. Dan ketiga adalah Pak Jenderal Hoegeng [Kapolri 1968-1971]. Humor atau lelucon Gus Dur ini tak berangkat dari ruang kosong. Tentunya ada sebab yang melatari lahirnya lelucon fenomenal tersebut.
Dari sekian banyak buku tentang Humor Gus Dur, hanya sedikit buku yang menjelaskan konteks lahirnya lelucon ‘Tiga Polisi Jujur’. Salah satu buku yang menjelaskan itu adalah buku karangan Muhammad Zikra yang berjudul ‘Tertawa Bersama Gus Dur : Humornya Kiai Indonesia’. Dalam buku itu dijelaskan bahwa humor tersebut adalah sebuah kritikan yang dilontarkan Gus Dur ketika ditanyai para wartawan perihal moralitas polisi yang banyak dipertanyakan.
Bicara soal moralitas dan integritas, baru-baru ini, tepatnya pada hari Kamis, 4 November 2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, di akun Twitternya @ListyoSigitP berbicara soal kejujuran dan integritas Ibu Halimah, seorang cleaning service bandara Soekarno Hatta yang menemukan dan mengembalikan dompet yang berisi cek senilai Rp.35,9 Miliar kepada pemiliknya. Dalam cerita Ibu Halimah tersebut, Kapolri Listyo memetik pelajaran yang sangat berharga tentang pentingnya kejujuran dan integritas dalam bekerja.
Kejujuran dan integritas dalam bekerja bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisah. Dalam sejarah Polri, mendiang Kapolri Hoegeng Imam Santoso adalah sosok yang terkenal dengan kejujuran dan integritasnya dalam bertugas. Kelakar atau guyonan Gus Dur tentang Polisi Jujur adalah sebuah catatan kritis tentang krisis yang dialami Polri secara institusi. Guyonan tersebut seakan-akan melegitimasi bahwa betapa sulitnya mencari Polisi Jujur dan memiliki integritas di negeri ini seperti halnya Jenderal Hoegeng.
Kisah hidup Jenderal Hoegeng, Kapolri ke lima dalam sejarah Republik Indonesia sangatlah melegenda. Tak hanya populer di kalangan personel Polri, nama Jenderal Hoegeng juga akrab di telinga masyarakat Indonesia. Jenderal Hoegeng yang dikenal profesional, jujur dan hidup sangat sederhana itu pernah berkata : “Selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam.” Petuah Jenderal Hoegeng ini menggambarkan betapa pentingnya kejujuran dan integritas bagi seorang personel Polri.
Bagi Kapolri Listyo Sigit, humor Gus Dur tentang Polisi Jujur atau kisah keteladanan Jenderal Hoegeng adalah ‘cambuk’ dan tantangan untuk mengubah citra Polisi di tengah masyarakat. Kapolri Listyo sangat optimis bahwa di negeri ini masih banyak personel Polri yang memiliki moralitas seperti halnya Jenderal Hoegeng. Setidaknya ada delapan personel Polri yang telah diberikan apresiasi oleh Kapolri Listyo dalam soal keteladanan. Dan Kapolri—begitu juga dengan kita—sangat yakin bahwa jumlah Polisi yang memiliki integritas moral tersebut, lebih banyak dari itu.
Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk mengekstrapolasi atau melebih-lebihkan kinerja Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Semenjak dilantik sebagai Kapolri atau bahkan ketika menjabat sebagai Kepala Bareskrim Polri, Listyo Sigit telah menunjukan sejumlah upaya yang ditujukan untuk menata kembali citra polri. Keterbukaan sikap, demokratis, profesional, tegas dan berani adalah sejumlah impresi yang penulis dapat dalam diri Kapolri Listyo Sigit. Dan yang paling mengesan di banyak ingatan masyarakat saat ini adalah adagium yang dikutip Kapolri yang berbunyi : ‘Ikan busuk mulai dari kepala’.
Adagium ‘Ikan busuk mulai dari kepala’ yang dipetik Kapolri Listyo ini sontak menjadi viral di tengah masyarakat. Adagium ini bermula dari instruksi Kapolri kepada jajaran Kepolisian di bawahnya untuk segera berbenah diri. Menurut Kapolri, bila tak sanggup berbenah atau ‘membersihkan ekor’ maka hukuman sudah menunggu. Bila tak sanggup berubah menjadi lebih baik, lebih baik tanggalkan jabatan, atau : ‘Saya Potong Kepalanya’.
Pasca instruksi ‘Potong kepala ikan busuk’ tersebut, tak cukup seminggu, sejumlah Personel Polri dari pangkat bintara hingga perwira merasakan dampaknya. Ada personel Polri yang dievaluasi kinerjanya, dicopot jabatannya, hingga dipecat secara tidak hormat atau PTDH. Kapolri Listyo Sigit yang dikenal sedikit berbicara tersebut, kini terbukti mampu menjawab ekspektasi masyarakat, khususnya dalam hal memperbaiki citra Polri dan juga kinerjanya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Di tangan Kapolri Listyo Sigit, citra Polri lambat laun makin membaik. Citra aparat kepolisian yang sebelumnya represif, arogan, anti kritik dan culas terhadap sipil kini jarang sekali terdengar. Tentu hal ini bisa terwujud karena adanya kerja keras, komitmen dan juga keteladanan. Tanpa prinsip-prinsip tersebut, Polri yang Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan [Presisi] tidak akan pernah mewujud. Dan pada posisi ini kita patut bersyukur dan optimis, karena semangat dan keteladanan Jenderal Hoegeng masih terpelihara dengan baik dalam kesadaran Polri saat ini.