Penguatan Rencana Kerja Pemerintan Daerah (RKPD) Kab. Sidrap ; Presentasi Kepala Bappelitbangda.
“Triple Shock, Dan Data Statistik Ekonomi Kab. Sidrap Mirip Negara Maju “
oleh : Syahrir
Perekonomian dunia dalam posisi kontraksi di “Triple Shock,” akibat pandemic corona virus (Covid – 19) melanda seluruh negara, dan kemudian ikut berpengaruh terhadap kerapuhan seluruh struktur pasar, berikut pergerakan transaksi ekonomi, turun tak terkendali.
Parameter di sebut triple shock , 1. Pergerakan transaksi terkoreksi tajam, 2. investasi, industri dan produksi, diposisi break, dan 3. pasar saham dan kurs terdefreseasi dilevel terendah. Selain itu, dominasinya terlihat pada kurva ekonomi pergerakannya meluncur turun, seperti berselancar di gunung es. Sehingga berkorelasi terhadap kondisi kehidupan sosial berada pada “froze up.” Dan tingkat dominasi dari pergerakan resiko covid -19 masih terus berlangsung, tanpa prediksi penghentian.
Reaksinya, menjadikan sejumlah negara negara maju telah menyatakan kondisi resesi. Di Asia, pemerintah Jepang, Korea berikut Singapura, lebih awal menyatakan, jika negaranya telah mengalami kontraksi di level pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi tajam.
Pengarunya pun cukup berdampak pada seluruh negara. termasuk Indonesia. Olehnya, disaat seluruh sistim pasar berefect dan ber-impact negatif, maka data data ekonomi tak bisa lagi direkayasa. karena yang berpengaruh langsung adalah realitas, bukan lagi di level teoritis. Antara lain, ketika misalnya, masih terdapat negara yang mencoba untuk merekonstruksi data ekonomi tak sesuai kenyataan, imbasnya, pemerintah akan berhadapan dengan “pressure” dari masyarakatnya sendiri.
Keputusan pemerintah Jepang, Korea dan Singapura, memilih mengumumkan, jika kondisional dialami berada pada posisi minus, adalah mereka tak ingin menanggung sejumlah resiko dari masyarakat, akibat kebohongan data data ekonomi. Di konteks negara maju, data statistik, kurva dan sejumlah sistim pergerakan ekonomi berbasis value, jelasnya, mereka takut melakukan publikasi data rekayasa. Mengapa, karena jika melangkah memasukkan data palsu pada area publik, pasti akan berhadapan dengan “high risk.” Sejumlah pengusaha, investor dan pergerakan nilai bisnis, memiliki ketergantungan dengan data tersebut. Resikonya, apabila “government” nya melakukan rekayasa data, maka dalam seketika pengusaha menghadapi kebangkrutan, stagnan, karena seluruh investasi sangat padat modal, credit, dan juga debt. Bahkan semua dalam bilangan “high cost”. Olehnya, bagi pemerintahan negara maju, pencitraan melalui rekayasa data ekonomi, bukan pilihan, bahkan sebuah ketakutan. interaksinya terhadap pembenaran rasional untuk pilihan kejujuran mempublis data statistik ekonomi, menjadi trend, sebagai langkah apreseasi dalam mendorong seluruh masyarakat kembali pada budaya, saling tolong menolong, gotong royong, intens membangun keakraban, karena mengerti kesulitan yang tengah dihadapi pemerintahnya. Cara tersebut, lebih jitu untuk keluar dari kemelut resesi ekonomi yang tengah dihadapi.
Ditengah gejolak ekonomi dunia dilanda resesi pada pusaran covid – 19, Indonesia memiliki keberuntungan karena penduduk hidup distruktur dominasi agraris. Sumberpangan berkecukupan, menjadikan pergerakan kehidupan sosial masyarakat hampir tak berpengaruh pada reaksi turunnya pergerakan nilai eksport, devisa negara, pertumbuhan ekonomi dan pengaruh sejumlah nila valas dan kurs yang anjlok. Untuk mengurai pembuktian tersebut, di munculkan cerita klasik. Contoh, di saat negara dilanda krisis ekonomi, sebagian masyarakat Indonesia yang sudah hidup berkecukupan, sejahtera dan kaya, di kota kota besar, ketika tiba tiba terpapar krisis, jatuh miskin, maka pilihannya kembali lagi ke desa, hidup bersama keluarganya, bertani dan berladang di kampung. Rangkaiannya, di siklus kehidupan masyarakat Indonesia seperti itu, oleh ekonom internasional menyebut masyarakat Indonesia tahan banting terhadap resisi ekonomi global. Logisnya, masyarakat Indonesia, merasakan super krisis, seperti di Afrika, Afganistan dan negara miskin lainnya, apabila hujan tidak turun atau terjadi kemarau panjang selama bertahun tahun.
Di realitas tersebut, masyarakat Indonesia terbiasa dengan kecukupan dan ketersediaan pangan dari kerakteristik alam dan lingkungan hidup. Tersebut, tak takut hidup miskin. Jauh berbeda dengan sejumlah negara maju ber – “income” dari sistim produk berbasis jasa dan industri. Seperti Singapura. sekalipun tergolong negara maju, tapi lahan pertanian dan petani tidak maju, karena masyarakatnya tidak memiliki lahan pertanian sebagai basic kelangsungan hidup. Olehnya, pilihan pemerintah Singapura, mewujudkan misi negerinya sebagai industri jasa internasaional, yang kerja dan tugasnya hanya “printing money.”
Demikian Sigapura, negeri yang masih mempertahankan nama suku Bugis ditempat salah satu area bisnis berlebel Bugis Junction, adalah memiliki kepekaan terhadap fulus. Dan negara melegendakan salah satu sudut kota teramai bernama Bugis Street, lebih memilih memproduksi uang di banding industri manufaktur lainnya. maka berkategori Singapura, tak memiliki industri tekonologit tinggi berbasis manufaktur, tetapi termasuk negara maju. Misalnya, jika negara berlambang patung kepala Singa itu, masih merasa kekurangan dana, tindakan berikut, yakni melakukan praktek penarikan uang dari negara tetangga, seperti cara kerja mesin penyedot sampah.
Cukup atraktif cara mereka mengatasi dilema. Namun demikian, bagi negara berbasis sumber daya produk ekonomi industri dan jasa, ketika krisis ekonomi melanda dunia secara berkepanjangan, dan disaat mengalami kelambatan pemulihan, imbas turunannya, masyarakat dalam kondisi stress atau “the danger,” karena untuk memenuhi kebutuhan pangan, tak ada pilihan lain, kecuali bergantung dari devisa negara yang selama ini tersimpan di bank central. Rangkaian berikutnya, ketika devisa negara terus menerus terkuras habis, resikonya , negara tersebut terprediksi bisa kembali menjadi “Poor Country”. Sekalipun, secara prosedur, menurunnya sebuah negera dari negara maju menjadi negara miskin, variabel pembuktian belum intens terpublikasi.
Proporsi Indonesia sebagai negara berbasis agraris menjadikan perkapita penduduk dilevel “middle income trap.” Maju tidak, mundur juga tidak, posisinya selalu berada diwilayah tengah. Termasuk angka pertumbuhan ekonomi negara berbasis pertanian seperti Indonesia, di rekam naik turun pada level 5 % dan mentok diangka maksimal 6%. Jika pertumbuhan dipaksa untuk merangkak naik pada kurva pertumbuhan 7 % – 8% , sanksinya, akan berhadapan “engineering of data” . Faktor dan fakta keraguan tersebut terjadi, akibat sejumlah pasar pangan dunia, di banjiri dari pertanian di negara negara maju. Reaksinya. nilai ekspor dibidang produk pangan jelas terkendala, alias tertolak pasar. Posisinya issunya, kalah bersaing. Persoalan lain membuat Indonesia terganjal pertumbuhan ekonomi pada level tertinggi, diakibatkan sedikit kehilangan daya saing produk teknologi dari Indonesia. Bahkan belakangan ini, Indonesia hampir tidak memiliki produk berbasis “high tech” yang di jual dan laku di pasar global. Dan posisi lemah berikutnya, terjadi pada kualitas Sumber Daya Manusia, memiliki keterbatasan dalam memproduk kebutuhan pasar dunia. Praktis Indonesia hanya memiliki dua kemampuan untuk bangkit dan dalam menahan laju kemunduran. Pertama ekspor dan eksploitasi sumberdaya alam, dan kedua, pengiriman tenaga kerja rumah tangga ( pekerja pembantu rumah tangga/TKI). Sumbangsih Tenaga Kerja Indonesia (TKI), memiliki peran cukup tinggi untuk memasok devisa negara, sekalipun bagi sebahagian TKI berhadapan dengan sejumlah resiko tinggi. Salah satunya, harus rela meninggalkan kampung halaman, anak, istri, dan suami pergi “peras” keringat di negeri orang. Belakangan, terpublis beberapa TKI yang bekerja di kapal asing, saat meninggal, mayatnya dibuang ke laut.
Diantara dilematis tersebut, masih mensisahkan harapan sumbangan perbaikan peningkatan pendapatan disektor jasa – pariwisata, sekalipun sektor itu, berposisi masih maju mundur. Penyebabnya, sejumlah infrastruktur pariwisata, kurang mendukung, walaupun potensi pariwisata nasional membentang sepanjang mata memandang seantero nusantara. Termasuk di dibidang manufaktur sebagai penggerak penyerapan tenaga kerja, juga berhadapan dengan pemilik modal. Artinya, hampir seluruh industri manufaktur baik berskala ekspor, maupun untuk pemenuhan pasar dalam negeri, adalah milik investor asing. logika pelemahan mengandalkan investor manufaktur milik asing, yakni mereka, sewaktu waktu bisa hengkang, memindahkan pabrik sekalian lapis dengan modal dan uang, pergi ke negara lain, dan tak berkabar lagi. Bagi investor, modal, uang dan barang tidak pernah memiliki status warga negara, bisa hidup disemua tempat.
Dari fenomena tersebut, kembali merangkai perbaikan nasib ekonomi nasional pada bidang industri pengolahan sumber daya alam/SDA. Penempatan SDA sebagai pemutar roda bisnis, aplikasinya juga tak mudah, seperti hanya gali tanah, pakai cangkul, lalu dapat bongkahan emas. Rupanya, harus berhadapan dengan pemodal besar, dalam kurung kapitalis. Pilihan itu, bagaikan rasa pahit yang harus ditelan sebagai “owner” negeri. Konsekwensinya, agar SDA bisa terkola, dengan terpaksa harus di lepas kepemilikan lahan ketangan investor asing. Peraturannya sederhana, dan mudah, yakni mirip ketika kakek dikampung jual tanah, sawah dan ladang.
Hubungannya, tak terpungkiri, rata- rata pemilik pengelolaan SDA, seperti saham mayoritas, berikut pabrik, tanah dan deposit tambang, dikuasai asing. Indonesia hanya bernapas sedikit pada pembagian pajak dan royalti. selebihnya ludes di libas oleh asing dan “aseng” dari negeri Laksamana Cheng Ho.
Setelah menguasai sejumlah sektor investasi berikut membawa pergi uang, lapis hasil olahan SDA dan turunannya, seperti emas, intan, berlian, batu bara, nikel, titanium, berikut seisi lautan dan danau, namun Indonesia masih sedikit ‘enjoy’ karena memiliki jumlah penduduk terbesar nomor empat dunia. Atau setara dengan 269,6 juta jiwa, terpaut dibawah rangking jumlah penduduk Amerika Serikat, setelah India dan terbesar negeri Tiongkok.
Pada porsi Indonesia berpenduduk banyak, jelas membuka ruang transaksi dan bisnis yang demikian besar. Produk pun, ikut tumbuh mengikuti kebutuhan pasar. Termasuk “supply and demand” hampir tak henti bekerja dan berkejaran memutar roda bisnis, seperti tiupan bayu yang menggerakkan kincir angin di Kab. Sidrap.
Dan di market besar itu, bagi para pemain yang sukses dan gemilang, oleh George Soros disebut sebagai “Berjalan Mendahului Kurva. Bahkan dalam memacu langkah kesuksesan, ditengah penguasaan market, analis menyebut, jika bertarung di arena pasar, saatnya mematikan seluruh teori ekonomi, atau “this is the end of economy theory.” Mengapa begitu, prakteknya, ditengah lautan market, jika terdapat 100 orang yang bekerja keras, peras keringat, maka terdapat 1000 orang lagi yang berprilaku “curang,” dengan sistim spekulasi.
Lewat strategi dan permainan para spekulasi, mampu menaklukkan dahsyatnya kekuatan “the big market” dari jumlah penduduk yang banyak. Bahkan bisa memukul balik produsen, akibat produk tertolak pasar. Ilustrasinya, dalam waktu singkat bisa untung besar, sebaliknya juga, bisa terjadi, bangkrut dalam waktu yang sesingkat singkatnya. Namun, bagi pengusaha yang bisa selamat dan selamanya bersemayam dengan konsumen, adalah mereka yang menerapkan “equilibrium”.
Market besar yang dimiliki Indonesia, membuat sejumlah produsen dunia ketakutan. Takutnya, di saat sejumlah produk tidak diserap pasar, para marketer yang selama ini “tidur nyenyak” di dalam negeri, bisa pulang kenegerinya dengan hanya berbekal celana “kolor.” Logikanya, bukan hanya menderita bangkrut, tapi pabriknya bisa tutup untuk selamanya.
Akibat pengaruh kekuatan pasar Indonesia yang demikian berbahaya, maka sejumlah investor, pengusaha dan produsen dunia merapat dan mendekat melalui berbagai cara. Antara lain memberikan bantuan, pinjaman, dan joint, baik melalui “government” maupun lewat swasta.
Pada kondisional tersebut, oleh pemilik produk pabrikan dan non manufaktur memilih langkah partisipasi akrab pada masyarakat Indonesia dengan tindakan “disayang, disanjung dan di belai” sekalipun hanya berlaku pada kondisi tertentu. Prilaku terebut mereka praktekkan, akibat ketakutannya terhadap krisis konsumen. Misalnya, salah satu satu produk mi instant terkenal milik perusahaan tertentu, tiba tiba ditolak dan tidak dikonsumsi oleh masyarakat, resikonya, perusahaan tersebut pasti “colaps.”
Sejumlah elemen bisnis berpengaruh kuat terhadap Indonesia, namun tak lepas dari prediksi, jika masyarakat Indonesia bisa dan mudah untuk di “driver”. Penyebabnya, masyarakat Indonesia rata rata berpendapatan yang relatif rendah, cirinya, selalu mencari dan menkonsumsi produk murah, itu pula yang membuat masyarakat rapuh dalam memberikan perlawanan terhadap penolakan sebuah produk.
Kondisi demikian, yang membuat bangsa Indonesai dengan pasar terbesar, selalu termarginal. Sangat mudah untuk dieksekusi oleh para kapitalis, konglomerasi, dan unjungnya, dipermainkan seperti bola pingpong.
Rasio tersebut berlaku pada seluruh daerah provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Yakni partisipasi dan konstribusi kekuatan konsumen sangat kuat, tapi rapuh ketika berhadapan dengan barang yang tak berkulitas. Akhirnya, barang berharga murah membanjiri pasar. “Branding” nya, harga standar pasti di “libas habis” konsumen, kualitas urusan belakang, dahulukan pemenuhan “margin.”
Misalnya, ketika melihat pasar menguat dengan serbuan para konsumen demikian besar. Oleh sebagaian analis membacanya sebagai “trend growth economy.” Berikut iklim investasi membaik, Gini Rasio ikut teratasi, “Gross Domestic Product” tumbuh dan juga inflasi dipastikan stabil. Kemudian berantai menjadi nilai penurunan angka kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan semakin terurai dan menurun. Muaranya, sejumlah angka angka di “paksakan” masuk kederek hitung statistik dan kemudian di publis. Hasilnya, terakui sebagai sebuah prestasi. Sekalipun sesungguhnya seluruh perolehan data dan torehan angka, bersifat semu, berkategori asumsi. Sewaktu waktu bisa berubah tanpa harus menunggu kepastian. Dan dihampir seluruh sistim yang tengah berjalan dan terus berpengaruh tersebut, disebut sebagai kemajuan dan berbangga. Walaupun, di wilayah realitas memfaktakan kesusahan.
“Sidrap Mirip Negara Maju”
Penguatan pertumbuhan ekonomi masyarakat daerah, local country, umumnya memiliki ketergantungan dengan transfer dana dari pemerintah pusat. Ketika terdapat daerah memiliki growth, pertumbuhan melesat maju, kecurigaan mulai muncul. Ujungnya, pasti mendapat banyak pasokan dana dari pusat.
Pengetahuan praktis seperti itu, membuat banyak pejabat daerah, memilih “nongkrong” dipusat pemerintahan.
Sejak dilantik, hanya pulang kampung dua kali dalam setahun, itupun saat perayaan hari raya. Perlakukan tersebut terbilang “syah” sekalipun tak tertulis dalam uudang undang.
Sangat memaksa pilihan itu ditempuh, akibat politik anggaran, banyak tak beres. Rumusnya, ketika pembagian dana dan anggaran belanja negara ke daerah, memakai pendekatan politik, maka yang hadir adalah pembesaran spekulasi, berikut berkonstribusi “menghalalkan” peraturan untuk ditabrak.
Olehnya, untuk mendapatkan fulus gede dari pusat, teorinya tak perlu panjang – panjang, cukup menerapkan kata – kata orang Belanda, “Bagi yang cepat dia yang dapat. Yang dekat, untung banyak. Dan yang merapat, kebanjiran fulus. Bagi yang menjauh pasti tertinggal. Intinya, untuk meraup dana besar dari pusat, lakukan praktek intelijen, yakni maksimalkan penggunaan kelima panca indra. Tangan, mata, hidung, telinga, dan mulut. Adapun Otak, kepala dan “knowledge,” diistirahatkan sejenak. Yakin, dengan sistim tersebut, pasti memboyong dana besar pulang kampung.
Pola demikin, jauh berbeda dengan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Daerah berbasis masyarakat petani dan lahan pertanian di Porv. Sulawesi Selatan tersebut, berpenduduk 301.972 jiwa atau dibawah angka 1 juta penduduk sesuai data Badan Pusat Statistik 2019.
Korelasinya, masyarakat agraris, posisi pendapatan dan capital, berada pada “middle income.” Lebih rentang miskin dibanding sejahtera. Olehnya, daerah ber – “agriculture” seperti Sidrap, pemerintahnya di wajibkan berhati hati dalam segala aspek. Ketika sedikit salah dalam menerapkan “sustainable development,” kehidupan masyarakat langsung berbalik arah, artinya, dalam seketika, “live of society” bisa ambruk, seperti badai datang melanda.
Namun demikian, Sidrap, tetap diposisikan sebagai sumber pangan nasional. Alasannya, karena memiliki lahan pertanian penghasil padi, gabah dan beras yang terproduksi rutin dalam hitungan bulan, dan tahun. Korelasinya, jika kabupaten Sidrap gagal panen, pemerintah pusat pasti buka kran import beras dari luar negeri.
Demikian, fungsi strategsi dimiliki masyarakat Kabupaten Sidrap di tingkat nasional. Berdasar Rencana Kerja Pemerintah Daerah 2021 yang terekspose oleh Kepalal Bappelitbangda. Merealis data, luas lahan pertanian Sidrap, tahun 2015 mencapai angka 48.633.00 hektar.
Rincian globalnya, pada tahun 2016, luasan sawah turun ke niali 48.117.00 hektar. Kemudian kembali naik pada tahun 2017, menjadi 48.511.89 hektar. Tahun berikutnya, kembali naik, pada angka 49.024.00 hektar pada 2018. Saat memasuki tahun 2019, luas sawah kembali turun pada level 48.831.00 hektar.
Penyebab luas area pertanian di Kab Sidrap naik turun seperti teh celup di gelas kecil, tak terpublikasi di slide perentasi Kepala Bappelitbangda pada medio Juli 2020. Bagian termudah diakses di persentasi tersebut adalah produksi Padi.
Seperti pada tahun 2019, produksi padi mencapai angka 515.011 Ton. Sesudahnya, secara berturut turut ditampakkan jumlah produksi pertahun. Misalnya, tahun 2015, capain produk 536.012 ton. Tahun 2016, jumlah produksi 587.982.51 ton. Demikian pula pada tahun 2017, mentok diangka produksi,s 667.754.07 ton. Kemudian pada tahun 2018, angka produksi, 545.605 ton.
jika dianalisis sejumlah data tersebut, maka masih terlalu banyak pekerjaan rumah tangga yang harus dilakukan oleh Ikatan Sarjana Asal Sidrap, pada aplikasi penelitian, khususnya dalam menjawab validitas perolehan angka pada tayangan slide persentasi.
Pekerjaan yang masih tersisa dan harus dijawab, adalah berapa jumlah pabrik beras atau industri gabah yang beroperasi di Sidrap sehingga mampu produksi beras sebanyak 515.011 ton pada tahun 2019. Begitupun tahun dan angka produksi di bagian selanjutnya, yakni skemanya tak kelihatan jumlah industri gabah yang beroperasi.
Logisnya, untuk menjawab keraguan data dan keluar dari prediksi data asumsi, tak mesti harus merujuk pada negara tetangga Singapura. Negera “calo” internasional itu, adalah tak punya lahan pertanian, tapi mereka bisa mengekspor hasil pertanian, termasuk tidak memiliki sebiji pun bahan tambang, tapi bisa mentransaksikan produk industri tambang di pasar global.
Yakin, Sidrap tak seperti Singapura, hanya berbekal kemampuan memainkan peran spekulasi. Artinya “i am trust, to my country Sidrap,” tetap memiliki banyak pabrik gabah yang terus beroperasi tak henti.
Selanjutnya, di sajian data yang cukup seksi untuk di analisis, adalah ketika tahun 2015 luas lahan pertanian, 48.633.00 hektar, akan tetap hanya bisa memproduksi padi sebanyak 536.012 ton. Jauh berbeda pada tahun 2016, luas lahan turun ke angka 48.117.00 hektar, tapi angka produksi, justru naik mencapai nilai 587.982.51 ton.
Khusus dalam mengamati angka perbedaan luas sawah dan jumlah produksi, memang banyak variabel yang berpengaruh. Antara lain, disaat luasan sawah bertambah tapi produksi menurun, dipengaruh oleh sejumlah faktor pengganggu. Seperti, hama, cuaca dan sejenisnya. Atau bisa jadi petani ketika tahun 2016, berhasil melakukan berbagai inovasi, dan sukses mengelola lahan sempit untuk menghasilkan produksi yang melimpah.
Lalu, kemana perginya petani Sidrap yang cerdas dan pintar melakukan inovasi itu. Rupanya, mereka di sewa oleh kabupaten dan daerahl lain dengan gaji atau “salary” yang demikian tinggi. Prediksinya, petani super cerdas itu, kini hijrah atau hengkang ke “negeri”lain, karena tak mendapat respon baik di kampung halamannya.
Dibagian lain, terhadap respon dari hasil kajian data statistik, jelas, melahirkan sejumlah optimis. Misalnya, tertinggi terjadi pada kemampuan pemerintah Sidrap dalam mengelola, mendorong dan memotivasi masyarakatnya. Sekalipun masih dalam persepsi sejumlah resep kesuksesan pemerintah Sidrap, dan enggan untuk di ungkap ke publik. Karena yang kelihatan sejumlah angka hasil hitungan matematika statistik, berikut kurva yang tengah menunjukkan prestasi dan keberhasilan serta kesuksesan.
Dalam melihat sejumlah pergerakan dan trend pertumbuhan tersebut, bayangan analis, Sidrap adalah daerah industri, berbasis pertanian, tangguh dan masyarakatnya dilevel capaian kesejahteraan. Hidup seperti di negara maju, mirip Jepang, Korea, Singapura dan di Eropa, jarang di temukan “poor people.”
“The End of Economy Theory”
Cukup asyik membaca, dan menganalisa data statistik ekonomi, trend kurva, Kab. Sidrap. Layaknya, kembali lagi duduk di bangku kuliah fakultas ekonomi semester tiga. saat dosen menyuguhkaan sejumlah teori ekonomi. seperti teori Keynes, Rostow, Adam Smith, dan lainnya.. Termasuk saat belajar kurva Lorenz, dan cara menghitung Gini Rasio (Kesenjangan), saat pertama kali dipublikasi tahun 1912, oleh orang Itali, bernama Corrado Gini.
Hubungannya, ketika mengamati data statistik Kabupaten Sidrap, sepertinya terdapat bagian teori dan rumus ekonomi yang harus ditanggalkan, atau “the end of economy Theory.” sedikit mirip para penakluk pasar yang tidak menghiraukan atau sengaja meninggalkan bahkan sengaja mematikan sejumlah toeri. Alasannya, memusingkan. Dan ketika teori dan rumus ekonomi, sengaja tak terpakai, terbaikan, maka yang muncul kemudian adalah, angka angka kesepakatan, asumsi dan rekayasa, atau “engineering data.”
Misalnya di Kabupaten Sidrap, dengan luas wilayah secara keseluruhan 188.325 hektar. dan memiliki luas area persawahan atau lahan produksi padi, pada angka 48.831. Artinya adalah, masyarakat memiliki ketergantungan pendapatan dari hasil produksi pertanian berdasar luas lahan.
Analisanya, ketika luas lahan menurun, berpengaruh pula terhadap nilai produksi, seterusnya berefek pada penjualan. Simpulannya, sangat “impossible” produksi naik tetapi kemudian penjualan menurun. atau sebaliknya, angka penjualan naik tapi produksi turun. Rumus bakunya, adalah simetris. Nilai produksi pasti naik, berdasarkan atau mengikuti kenaikan angka penjulan. Sebaliknya demikian. Jika rumus ini terbantahkan, pilihannya, fakultas ekonomi lebih baik ditutup.
Dalam melihat jumlah lahan produksi lahan persawahan yang tergolong sempit di Kab. Sidrap, yakni berkisar 25,9 % dari luas keseluruhan lahan. Jelas, memiliki kekurangmampuan untuk menumbuhkan pereokonomian pada tingkat lebih tertinggi, menyamai daerah berbasis sistim industri.
Lalu, imbas resikonya, saat lahan tersebut menyusut dan produksi menurun, maka secara equivalent berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, tingkat pengangguran, gross domestic product, indeks human development dan juga inflasi. Seluruh parameter tersebut, memiliki rumus hitung masing masing. Konsekwensinya, tak boleh dilanggar atau salah hitung.
Misalnya, ketika analis salah hitung, atau sengaja memasukkan value rekayasa (sesuai pesanan), maka hasilnya, statistik masuk ke ruang spekulasi. Bisa juga masuk ruang ICU, kamar emergency rumah sakit menunggu kematian.
selanjutnya, pada sample kolektif dari statistik daerah, menyebutkan, jika Sidrap pada tahun 2015, “growth” economy mencapai 8.05%. Bahkan puncak tertinggi menyentuh angka pertumbuhan 8.77%. Itu, terjadi pada tahun 2016. Sangat prestasi.
Bandingkan Jepang pada tahun yang sama, yakni tahun 2015, pertumbuhan ekonominya, hanya mentok pada angka 3,9%. Sementara Korea Selatan, negera berbasis industri high tech, menempati angka pertumbuhan 3,1%. dan untuk Singapura di tahun yang sama, berada pada level 2,5%.
Selain itu, data berikut yang perlu didalami, adalah penurunan angka kemiskinaan. Di sidrap, pada saat pertumbuhan ekonomi mencapai 8.03% Angka kemiskinan berada pada level 5,55%. Dan Ketika angka pertumbuhan ekonomi berada pada puncak 8.77%, persentasi angka kemiskinan berada pada 5.45%.
Namun Pada tahun 2019, saat pertumbuhan ekonomi menurun ke level 4.65%, maka penurunan angka kemiskinan mengikuti, yakni 4.75%. dan juga diikuti angka pengangguran yang berada pada level 4.75%. Artinya, ketika angka pertumbuhan ekonomi naik, angka kemiskinan justru harus turun.
Tapi, di Sidrap justru terbalik. Logisnya, kenaikan pertumbuhan, diikuti oleh kenaikan angka pengangguran dan naiknya pula angka kemiskinan.
Misalnya, ketika angka pertumbuhan ekonomi Sidrap berada di level 8.03%, justru tingkat pengangguran membengkak menjadi 6.97%. sejumlah data dan angka terebut, tergolong aneh bin ajaib. Lazimnya, ketika pertumbuhan ekonomi naik, pasti angka pengangguran menurun, diikuti pula menurunnya angka kemiskinan. Bukan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi naik, kemiskinan naik dan juga pengangguran ikut naik.
Sepertinya, sejumlah hasil hitung statistik tersebut, mengabaikan Konstanta regresi dan koefesien regresi. Termasuk melupakan uji koefesien dan uji parsial. Akhirnya, mungkin hanya di Sidrap yang berlaku, “pertumbuhan ekonomi, hampir tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran.”
Untuk itu, khusus dalam bidang angka statistik, Sidrap adalah sebuah kolaborasi kolektif interval, antara fakta dan data.
Harapannya, Sidrap kedepan, yakin jauh lebih baik, sejahtera dan masyarakat petani tidak lagi termarginalkan. Termasuk, ekspose data statistik pertumbuhan ekonomi Sidrap, berdasarkan fakta dan realita.